Hari menjelang sore, Tum masih harus menempuh perjalanan yang panjang. Langkahnya terasa berat dan gontai. Tubuhnya gemetar, perutnya kosong sejak pagi. Ia mendambakan kekuatan agar bisa tiba di rumah dengan selamat.
Sesekali Tum berhenti untuk menghirup udara segar. Matanya memandang sawah dan gunung. Semilir angin dan kicauan burung seolah memberi hiburan kecil di tengah perjalanannya.
"Ayo, Tum, sedikit lagi," ucapnya dalam hati, mencoba membangkitkan semangat, karena tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bergerak.
Tiba di rumah, bukan sambutan ramah yang Tum dapatkan. Mamak membawa celengan plastik yang sudah terbelah jadi dua.
"Tuuuuum! Kau kemanakan uang tabunganmu hah? Ke mana saja kau ini, jam segini baru pulang? Dasar anak nakal!" Mamak memukuli pantat Tum dengan keras. Amarahnya meluap-luap.
Trias mengintip dari lubang dinding dan ia ketakutan melihat kakaknya dipukuli.
"Tabunganmu bisa kita gunakan untuk membeli beras atau peralatan sekolahmu selama Bapak belum kirim uang, Tum," teriak Mamak. Tiba-tiba Mamak mencium aroma ayam di seragam Tum. "Kau bau ayam sekali!"
"Maaf, Mak. Uangnya aku sedekahkan semua." Tum tidak berpikir kalau sang ibu akan marah besar seperti itu. Seharusnya ia menyisakan sedikit uang di dalam celengan.
Tum sudah tidak kuat lagi. Pandangannya seperti dipenuhi kunang-kunang. Suara Mamak samar-samar nyaris tak terdengar. Tubuhnya menggelosor ke lantai. Ia jatuh dan tidak sadarkan diri tepat di kaki ibunya. Mamak langsung heboh sendiri, padahal tadi ia dengan sadis memukuli anaknya.
Tum merasa seperti baru bangun tidur. Sudah tidak ada rasa lemas atau lapar yang ia rasakan. Ia sadar kini berada di alam lain. Suasana gelap dan dingin terulang lagi seperti kejadian sebelumnya. Pertama kali sosok yang ditemuinya adalah Ulan. Tum yakin Ulan lah yang membawanya ke tempat ini.
"Tum, semua prajurit dari istana Mbah Nurah sudah dikerahkan. Sekarang mereka sedang berperang untuk menyelamatkan teman-temanmu. Aku dan Mbah Nurah juga ikut turun tangan," kata Ulan dengan cepat. Sepasang matanya terus waspada, mengawasi kanan kiri.
"Kau harus ingat, jangan pernah berpikir untuk menampakkan diri di depan kaum iblis. Kau bisa jadi tumbal mereka, Tum. Tugasmu hanya diam di sini. Tunggu aku sampai berhasil keluar dari singgasana Raja Iblis."
Ulan mengeluarkan sebuah cermin kecil. "Kau bisa melihat semua pertarungan kami melalui cermin ini."
Tum tertegun, takjub sekaligus bingung. Bagaimana mungkin ada cermin ajaib seperti itu?
Ulan pergi untuk bergabung dengan Mbah Nurah. Beberapa kali ia melewati prajurit istana dan kaum iblis yang sedang berperang.
"Mbah, apakah Helen dan Mita sudah terlihat?"
"Itu mereka," sahut Mbah Nurah. Ulan tiba di waktu yang tepat.
"Aku akan memanggil salah satu prajurit, Mbah." Ulan sudah hafal tugas yang harus dilakukannya. Ia akan memberi tugas pada prajurit untuk membawa pergi Helen dan Mita ke istana.
Helen dan Mita terlihat membawa keranjang buah. Wajah keduanya terlihat sangat cantik. Tak heran jika Raja Iblis memilih mereka menjadi pelayan.
Mbah Nurah muncul di hadapan dua sahabat Tum. Ia segera menepukkan kedua tangannya di depan wajah Helen dan Mita, membuat mereka pingsan seketika. Mbah Nurah dengan sigap menopang tubuh keduanya, sementara keranjang buah jatuh, menumpahkan berbagai macam buah ke tanah.
Tanpa banyak bicara, prajurit yang dibawa Ulan cekatan memegang tangan Helen dan Mita. Seketika mereka menghilang.
Dengan hanya menjentikkan jari, buah-buahan sudah terkumpul kembali ke dalam ranjang oleh Mbah Nurah.
"Suntikkan semua racun ke dalam buah-buahan. Jangan lupa juga, semua makanan dan minuman yang disajikan ke Raja Iblis, kau berikan racun yang sama," titah Mbah Nurah.
Mbah Nurah mengubah diri menjadi Helen, sementara Ulan menyamar sebagai Mita. Mereka mengambil identitas dua sahabat dekat Tum demi melayani Raja. Dengan penyamaran ini, mereka berharap dapat menyusup tanpa terdeteksi dan menjalankan rencana yang telah lama mereka persiapkan dengan penuh kehati-hatian. Bagi Mbah Nurah dan Ulan, ini adalah satu-satunya cara untuk menerobos ke lingkaran istana dan membawa misi mereka ke puncak keberhasilan.
Mbah Nurah dan Ulan pergi ke dapur. Keduanya mengeluarkan suntikan mengandung racun dari dalam selendang. Dengan sangat cepat, mereka menyuntikkannya ke semua makanan sebelum dipersembahkan ke Raja Iblis.
Ulan membawa nampan berisi daging-daging. Mbah Nurah membawa buah-buahan yang tadi dibawa oleh Helen dan Mita.
Kaum Iblis dan rajanya sedang berpesta. Kalau di alam dunia, tempat pesta mereka mirip diskotik. Mereka tertawa-tawa dan mabuk. Ada juga yang berjoget-joget mirip ulat keket.
"Hey, Kau! Tuangkan minuman untukku!" Raja Iblis yang duduk di singgasana berteriak pada Alim.
Alim yang kalem dan pendiam hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan oleh Raja Iblis.
Sang Raja menenggak minuman yang sudah terkontaminasi racun sampai habis. Racunnya memang dibuat tidak langsung bekerja. Akan ada jeda lima menit sampai semua kaum Iblis yang tengah berpesta ikut menikmati hidangan.
Persis seperti yang sudah diperhitungkan Mbah Nurah, semua iblis mengalami kejang-kejang seperti ayam sekarat dalam waktu bersamaan.
Mbah Nurah dan Ulan saling melempar senyum. Misi mereka berhasil. Namun, ternyata tidak semudah itu menaklukkan kaum Iblis.
Ada satu Iblis yang tidak menyentuh hidangan sama sekali karena sedang menurunkan berat badan. Iblis itu adalah yang paling bongsor di antara semuanya. Ia kelimpungan melihat tubuh-tubuh kaumnya yang berjatuhan satu-satu. Mereka semua melebur menjadi api.
"Raja ... Raja. Apa yang terjadi?" Iblis menyambangi sang Raja.