Wanita cantik dengan balutan kebaya sederhana berwarna hijau lumut itu semakin mempercepat langkah kakinya. Jalan kampung yang dilaluinya mulai lengang. Sementara bohlam berwarna kekuningan dengan watt kecil, yang ditempatkan sebagian warga yang terbilang cukup berada di jalan depan rumah mereka, berjarak agak berjauhan satu sama lain. Sinarnya yang temaram tak mampu menembus kepekatan malam.
Sore ini ia memang agak terlambat pulang ke rumah, setelah menyelesaikan latihannya sebagai sinden untuk persiapan pagelaran wayang kulit yang akan digelar Minggu depan, di kediaman Lurah desa tetangga, untuk acara bersih desa yang dipimpin Ki dalang Suryo, yang juga merupakan mantan ayah mertuanya.
Kalau dulu, setiap selesai latihan, Narendra lah yang akan selalu dengan senang hati mengantarnya pulang, memboncengnya dengan sepeda kumbang atau meminjam motor bebek milik ayahnya, dan sengaja mencari jalan memutar agar bisa lebih lama berduaan dengannya, tapi sekarang ia harus pulang sendiri dengan berjalan kaki.
Dengan jauhnya jarak yang harus ia tempuh, untuk sampai ke rumah yang terletak di ujung desa juga akan memakan waktu lebih lama. Apalagi jarik yang membalut tubuh bagian bawahnya juga sedikit menghalangi langkahnya yang tergesa. Dalam hati ia hanya bisa berdoa, semoga Lintang Prameswari, putri kecilnya yang baru berusia sembilan bulan itu tidak rewel dan merepotkan neneknya.
Wanita itu, Jernih Suminar, sinden tercantik yang berhasil menarik perhatian Narendra, putra semata wayang Ki Dalang Suryo dan sempat menikahinya, walaupun hanya berumur satu tahun saja usia pernikahan mereka, tetapi Suminar dapat menerima dengan legowo keputusan yang diambil lelaki yang sangat ia cintai itu.
Karena sebuah kepercayaan yang ia yakini bahwa apapun yang dilakukan suaminya itu, adalah hal yang memang harus dilakukan. Apalagi hingga saat ini, walaupun Narendra telah menjatuhkan talak karena dulu pun mereka menikah secara siri yang hanya dihadiri Ki dalang Suryo serta perangkat kampung setempat sebagai saksi.
Tapi hingga saat ini Narendra dan juga Ki dalang Suryo, sang ayah mertua, tetap memberikan nafkah untuk menjamin kehidupannya bersama ibu yang telah menjanda juga putri kecil yang masih bayi itu. Ki dalang Suryo pun masih mengijinkan ia untuk nyinden di pagelaran wayang yang dipimpinnya.
Di persimpangan, Suminar mengambil keputusan untuk mengambil jalan pintas agar bisa lebih cepat tiba di rumah meskipun jalan pintas itu merupakan jalan setapak yang membelah perkebunan serta melewati jembatan kayu di atas sungai cukup deras yang biasa digunakan warga untuk mencuci pakaian atau mandi. Dan tentu saja tanpa lampu penerangan karena jalan setapak itu berada jauh di belakang deretan rumah warga.
Tetapi hanya itu satu-satunya jalan pintas jika ia ingin secepatnya tiba di rumah. Kalau menyusuri jalan kampung, ia harus berjalan memutari perkebunan untuk sampai ke rumahnya. Waktu yang lebih panjang dan jarak yang hampir tiga kali lebih jauh yang harus ditempuhnya.
Suminar segera menyalakan lampu senter yang biasa dibawanya saat berada di luar rumah atau sedang melakukan perjalanan di malam hari.
Tanpa sedikitpun perasaan takut, ia berjalan cepat membelah kepekatan malam.
Sejak bapaknya meninggal dunia bertahun-tahun lalu yang membuat ia harus hidup berdua saja dengan ibunya telah mengajari dirinya untuk menjadi gadis tegar, mandiri serta tak mengenal takut.
Ia juga terbiasa bekerja keras di kebun, untuk membantu meringankan beban hidup yang harus menjadi tanggungan ibu tanpa harta peninggalan yang berarti dari bapaknya, selain tanah kebun yang tak terlalu luas dan sepetak rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan papan kayu yang berdiri di atasnya.