Hari-hari berlalu, Narendra yang dengan kebulatan tekad menjalani ritual demi ritual yang sangat berat. Dengan menahan godaan besar yang datang silih berganti berusaha untuk menggagalkan usahanya, tapi ia tetap menguatkan diri demi apa yang tengah diperjuangkannya. Keteguhan hatinya itu semakin menumbuhkan kekaguman Ki Sudarma.
Hingga tibalah malam terakhir perjuangan dalam ritual puasanya.
Esok paginya, sesaat setelah terdengar Kokok ayam jantan pertama terdengar, Ki Sudarma memasuki gubuk kayu yang sengaja dibangunnya di tempat yang sangat terpencil jauh di dalam hutan. Adalah tempat dimana Narendra menjalankan ritualnya selama lebih dari satu purnama.
Dibukanya gubuk kayu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter itu. Derit pintu terdengar memecah kesunyian.
Fajar belum lagi menyingsing, sementara gubuk tanpa lampu itu terlihat gelap gulita. Apalagi Ki Sudarma sengaja mematikan obor yang tadi dipakainya untuk menerangi jalan setapak yang dilaluinya menembus hutan di pinggir desa tempat tinggalnya.
Setelah beberapa saat, mata tuanya mulai terbiasa pada kegelapan, ia bisa melihat bayangan sosok yang tengah duduk bersila di tengah-tengah satu-satunya ruangan yang ada.
Berusaha tidak menimbulkan suara iapun segera menempatkan diri tak jauh dari sosok Narendra. Sebentar lagi, ia harus segera membangunkan lelaki muda penuh tekad itu dan membawa sukmanya kembali sebelum fajar.
Sedikit saja terlambat, maka Sukma Narendra tak akan dapat kembali memasuki raganya. Itu artinya semua usaha Narendra akan sia-sia, sukmanya akan terperangkap di dunia yang berbeda, sementara raga kosongnya akan membusuk begitu saja. Orang awam akan menyangka ia sudah meninggal dunia.
***
Narendra menunduk takzim di depan sosok lelaki muda gagah dengan pakaian kebesaran melekat di tubuh kekarnya, serta mahkota tinggi bertabur permata di atas kepalanya.
Lelaki gagah itu tampak gemerlap oleh emas dan permata yang membalut tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala, bahkan selopnya pun terbuat dari emas berhias intan permata. Dan tentu saja, bagaimanapun selop itu digunakan, selarik bayangan berwarna gelap akan melapisi bagian bawah solnya dari tanah dan bergerak kemanapun lelaki itu melangkah. Sepintas seolah kaki lelaki gagah bermahkota itu tak menapak tanah.
"Kamu sudah berhasil melaksanakan ujian awal. Maka aku akan meluluskan keinginanmu!" titah lelaki bermahkota itu. Narendra mengangguk penuh syukur. Hatinya gembira. Sebentar lagi, ia akan dapat meraih keinginannya untuk menguasai dunia.
"Terimalah mustika Panji Anom ini, yang akan membuatmu abadi. Tubuhmu tak akan menua, cahaya pasuryanmu akan menebarkan daya pesona yang akan memikat orang-orang yang berada di sekitarmu. Pengaruhmu akan menjadi lebih kuat. Engkau akan menjadi pusat bagi sekelilingmu.
Tapi yang kau lakukan kemarin, barulah awal untuk membuka pintu dari dunia yang kau impikan, ujian yang sesungguhnya, baru akan kau lalui setelah kau pikir kau sudah mulai berhasil!
Hasil akhirnya adalah, tergantung dari apa tindakanmu untuk melalui ujian tersebut. Jadi berpikirlah dengan bijak! Tak ada sesuatu pun yang mudah untuk mendapatkan hasil terbaik. Bisa jadi untuk mendapatkan impianmu yang semu, kamu harus kehilangan kebahagiaan sejati. Kamu mengerti?" Kembali Narendra mengangguk takzim.
Lalu, sesuatu yang terasa hangat berukuran sebesar biji kacang tiba-tiba sudah berada dalam genggamannya. Ia masih menunduk, namun tidak berani melihat benda yang berada dalam genggamannya itu.
Sementara untuk mendongakkan kepala agar dapat memandang wajah lelaki yang tampak mengeluarkan sinar berpendar keemasan di depannya pun ia tak sanggup. Kalaupun ia berusaha untuk mendongak, pandangan matanya hanya sampai tepat di hiasan batu permata berwarna merah sebesar telur puyuh yang menghiasi dada lelaki itu.