Ki Sudarma menatap tak percaya pada wanita yang tengah tertunduk dengan bahu terguncang oleh Isak tangis yang terdengar memilukan.
"Aku sungguh-sungguh tak percaya kau bisa melakukan perbuatan sekeji itu, Wulan!" Wanita yang bersimpuh di depannya tak menjawab selain isak tangisnya yang kian keras penuh penyesalan.
"Ampuni aku, Bapak! Aku begitu marah saat mengetahui apa yang dilakukan Kang Narendra di belakangku. Ternyata selama ini ia masih sering menemui sinden itu!" isak Wulan mengadu.
"Dia melakukannya atas ijinku. Kamu hanya cemburu padanya. Padahal ia hanya menjalankan kewajibannya yaitu menafkahi anak kandungnya. Seharusnya kamu mempercayainya. Aku yakin dia tidak akan bertindak di luar batas!" bantah Ki Sudarma.
"Aku sangat mencintainya, Bapak! Aku tidak rela jika dia membagi perhatiannya pada wanita lain. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya. Aku ingin memiliki dia seutuhnya!"
"Kita ini hanya manusia biasa, Nduk, Cah Ayu! Tidak ada yang sempurna. Kita harus punya watak Nrimo. Ingat, tidak semua yang kita inginkan akan kita dapatkan. Belajar ikhlas Yo Nduk!" nasehat Ki Sudarma lembut.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Bapak?" bisik Wulan dengan wajah khawatir. "Aku takut dia meninggalkanku setelah tahu yang kulakukan, Pak!"
Suasana senyap. Ki Sudarma terdiam, kerutan dalam tercetak di dahinya. Putrinya masih bersimpuh didepannya, kali ini pandangan memohon tertuju padanya.
Dia adalah putri satu-satunya. Tak ada hal yang lebih berharga baginya, selain putrinya itu. Ia bahkan rela melakukan apapun untuk membuat putri semata wayangnya itu hidup bahagia.
Putrinya itu, adalah sosok gadis yang kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Dulu, saat ia sibuk dengan urusannya, ia benar-benar tak pernah memperhatikan kehidupan putrinya.
Pada saat istrinya meninggal dunia, saat Wulansari menginjak usia remaja. Ia justru semakin jarang pulang ke rumah, membiarkan Wulansari hidup sendirian di rumah besar dan hanya ditemani beberapa abdi saja.
Hingga kesadaran menyapa hatinya, bahwa ada seorang anak gadis yang butuh perhatian dan kasih sayangnya, tapi kesadaran itu datang terlambat. Wulansari sudah menjelma menjadi sosok wanita yang terbilang liar dan benar-benar tidak mencerminkan sosok wanita anggun pada umumnya.
"Apakah hal itu kamu lakukan dengan tanganmu sendiri, Nduk?" tanyanya hati-hati.
"Tentu saja tidak, Bapak! Bagaimana mungkin aku bisa tega melakukan hal itu? Sebenarnya bukan seperti itu juga maksudku. Saat marah, tanpa sengaja aku bercerita pada Subandrio. Aku cuma bilang, ingin sekali membuatnya jera dan menjauhi Kang Narendra. Tapi Subandrio salah mengerti, ia justru membunuh perempuan itu untuk membelaku." dusta Wulansari membela diri.
"Wulansari!! Kau ini sudah bersuami. Kenapa masih kau temui lelaki itu! Apa jadinya jika Narendra tahu kau menemui lelaki lain? Apa yang akan dipikirkannya?" bentak Ki Sudarma tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget oleh pengakuan putrinya itu.
Wulansari tersentak. Baru kali ini ayahnya itu bersuara keras terhadapnya. Seketika kemarahan mulai merasuki hatinya. Tapi ia berusaha menahan diri. Saat ini, posisinya sangat tidak menguntungkan. "Lalu pada siapa aku bisa berkeluh kesah, Bapak? Bukankah selama ini, Bapak juga tidak pernah ada untukku? Cuma pada Subandrio saja aku bisa menceritakan kesulitan ku.
Sejak dulu, cuma dia yang mau mendengar keluh kesahku. Aku ini cuma perempuan biasa yang kadang-kadang membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahku. Sementara orang tuaku menganggap hidupku sudah sangat nyaman dengan hanya menyodorkan harta benda di depanku!" kecam Wulansari. Ki Sudarma kembali terdiam oleh serangan rasa bersalah yang kian dalam.