Ini adalah duniaku. Berkutat dengan lembaran kanvas. Belepotan cat minyak. Bermain dengan warna. Melukis seringkali membuat aku seolah tenggelam dalam dimensi lain. Kadang sampai lupa akan waktu.
Deburan angin di sini membuat cat minyak cepat kering. Untung saja bawa banyak tiner. Masalah angin bisa teratasi.
Kuas dengan ujung lancip bergerak lincah merekam bentuk kota dari atas atap gedung kampusku. Tempat yang jarang didatangi mahasiswa lain. Di tempat inilah seringkali kuhabiskan waktu usai kuliah.
Jujur, aku kuliah hanya untuk menyenangkan hati ayah. Pulang kuliah giliran menyenangkan diri sendiri dengan melukis. Rooftop kampus yang sepi ini seperti sebuah sanggar lukis pribadi untukku. Tak ada gangguan berarti. Hanya angin nakal yang kadang berembus terlalu kencang.
Pemandangan di bawah sana seolah telah berpindah di atas kanvasku. Semburat sunset mulai mewarnai langit senja. Aku semakin semangat memilah warna cat minyak. Mencampurkan red saga dengan bright yelow di dalam palet. Mengencerkannya dengan sedikit tiner.
"Oke, Lea ... ini gradasi warna yang sangat natural," gumamku mengagumi karya sendiri. Satu tangan merapikan topi pet di kepala.
Rasanya ingin kuselesaikan saat ini juga lukisan ini. Tapi, sebentar lagi langit akan gelap. Aku harus pulang ke kosan sekarang. Dengan berat hati kubereskan semua perangkat lukis.
Setelah yakin cat minyak sudah mengering. Kanvas dengan span frame itu kusimpan rapi di gudang. Penjaga gedung kampus telah memberiku ijin untuk menyimpan lukisan di gudang rooftop. Imbalannya, seminggu sekali gudang itu harus kubersihkan.
***
Sebuah sepeda mini warna merah kusam menemaniku pulang. Angin senja menguapkan keringat di tubuh mungilku. Jarak kampus ke kosan butuh setengah jam menggowes sepeda.
Lea, orang-orang biasa memanggilku. Gadis dengan penampilan tomboy. Celana jeans, rambut diekor kuda, topi pet, serta sepasang sepatu kets butut sudah jadi keseharianku. Aku tak pernah bosan dengan penampilan ini. Bodo amat!
Satu lagi. Kemana-mana naik sepeda mini. Karena hanya ini yang aku punya. Aku bukan anak orang kaya. Tapi, punya mimpi suatu saat bisa kaya raya. Menjadi pelukis ternama.
Kedua kakiku terus menggowes pedal sepeda. Jantung berpacu, napas kian tersengal. Sebuah ransel besar tersandang di pundak.
Senyumku terkembang setiap kali melewati jalan protokol ini. Tampak sebuah baliho iklan berukuran besar berdiri kokoh di sisi jalan.
Kusempatkan untuk berhenti sejenak, mengatur napas yang tersengal. Memandangi wajah sahabatku Rani yang menjadi model iklan shampo di baliho itu. Dia terlihat sangat cantik.
Sahabatku Rani telah sukses menjadi artis papan atas. Mimpinya sudah menjadi nyata. Aku bangga.
Aku dan Rani satu kelas sejak SMP sampai SMA. Di SMA persahabatan kami bertambah seru dengan hadirnya Bayu. Bayu, cowok gemulai yang kocak dan baik. Kami kemudian menjadi tiga sekawan yang solid. Saling mengisi, saling menyemangati.
Begitu lulus SMA, kami mulai jarang bertemu. Masing-masing sudah punya kesibukan sendiri. Apalagi Rani yang sekarang jadi artis terkenal. Sedangkan Bayu sibuk mengurus usaha kedai kopi miliknya.
Aku? Tidak banyak kemajuan. Hanya anak kuliahan yang tergila-gila pada dunia melukis.
***
Poni rambut beterbangan begitu kuhempaskan napas dengan kasar. Menatap kecewa isi dompet yang tinggal beberapa lembar. Musti lebih hemat supaya masih bisa makan sampai akhir bulan.
Sebenarnya uang kiriman ayah cukup. Tapi, isi dompetku banyak terkuras untuk membeli alat lukis yang tergolong mahal. Setiap perjuangan harus ada yang dikorbankan. Tak apalah, akhir bulan ini lebih banyak makan mie instan.
Masih ada dua bungkus mie instan yang tergeletak manja di atas meja belajarku. Perut sudah lapar. Kuraih satu untuk memasaknya ke dapur.
Pintu kubuka. Alisku betaut sambil menutup lagi pintu kamar. Terdengar suara ramai teman- teman kosan dari arah ruang tamu.
"Ada apaan, sih?" tanyaku pada Hesti yang sendirian duduk di depan televisi.
"Gak tau. Aku baru keluar kamar," sahutnya sambil mengendikan bahu. Sorot matanya tampak terkagum-kagum menatap layar televisi.
"Nonton apa sih?" tanyaku kepo. Ikut menatap layar televisi. Apalagi kalau bukan drakor. "Plastik semua itu."
"Dih, biarin!" jawabnya sewot.