Keesokan harinya, Winda menemui Mardin. Dia mendapatkan Mardin sedang berada di depan kamar kosnya. Dia sedang duduk di bangku panjang sambil memainkan hapenya.
“Kenapa tadi kamu tidak ke kampus?” Tanya Winda sore itu di kamar Mardin. Mardin masih kelihatan kuyu dan sibuk memainkan ponselnya. Sepertinya dia belum mandi sedari pagi.
“Aku sakit,” jawab Mardin singkat sambil melirik Winda, lalu tangannya memainkan tombol-tombol di ponselnya.
“Sakit? Udah ke klinik kampus?” tanya Winda lagi. "Sakit kok main game melulu ...?"
“Sudahlah, Win. Pikiranku lagi kacau nih. Jangan membuat pikiranku semakin tidak menentu.” Kata Mardin sambil meletakkan ponselnya begitu saja dan menggerutu dengan kesal. “Sial! Kenapa aku terus-terusan sial begini?” Mardin mengacak rambutnya dengan tangan kanan.
“Sial? Sial kenapa? Bukannya kamu baik-baik saja?”
“Please, Win. Aku takut diganggu Kuntilanak itu lagi. Dia mengirimiku pesan berantai, agar meneruskan pesan itu kepada orang lain. Konyol kan. Aku seperti dipermainkan oleh Kuntilanak itu.”
Winda menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia mulai jengah dengan sikap Mardin yang kekanak-kanakan. Winda juga tidak tahu dari mana pesan itu dikirim. Pesan itu harus disebarkan ke sepuluh orang yang dikenalnya. Kalau tidak, Kuntilanak itu akan mendatanginya dan mengganggunya. Bukan itu saja, orang yang tidak menyebarkan pesan itu akan celaka!
“Sebaiknya jangan kamu terima lagi pesan itu. Kamu bisa mengabaikannya kan? Atau kamu ganti saja nomor hapemu!"
“Tapi aku sempat membaca pesan itu, Win. Dan aku harus menyampaikannya kepada sepuluh orang temanku.” Kata Mardin serius.
“Mardin… Mardin… Zaman sekarang kamu masih percaya dengan tahayul? Di mana imanmu? Aku juga pernah terima W.A. semacam itu dari nomor yang tidak ku kenal siapa pengirimnya.” Kata Winda. “Kasihan kan yang menerimanya jadi terganggu seperti yang kamu alami sekarang!”
“Tolong aku, Winda.”
“Aku mau nolong bagaimana? Ikut-ikutan nyebar pesan yang tidak berguna itu?”
“Bukan. Maksudku…”
“Sudahlah, Mardin. Aku tidak ada waktu untuk hal yang begituan.” Kata Winda.
Mardin terdiam dan memikirkan pesan itu. Entah mengapa dia iseng membuka pesan itu dan menyebarkannya ke beberapa orang.
“Oh ya, tadi aku sudah tanya Pak Sugandi.” Kata Winda, saat Mardin terpaku dan melamun. “Ternyata setelah Pak Sugandi kontak temannya yang manager di Telkom, ketahuan nomor hape itu dari mana dan dari siapa.”
Mardin bergeming dan hanya memperhatikan Winda yang duduk di sampingnya. Winda mengambil secarik kertas dari tasnya dan menunjukannya ke Mardin.
“Apakah kamu kenal dengan nomor hape ini?” Tanya Winda sambil menyodorkan secarik kertas yang ada tulisan kombinasi nomer ponsel. Mardin memperhatikan tulisan tangan itu dan berusaha mengingat-ingat nomor itu.
“Ini nomor Esti." Winda bantu Mardin mengingat-ingat. "Kamu tahu kan si Esti? Cewek modis di kampus kita? Pengirim whatsapp itu bernama Esti.”
Mardin terkejut mendengar nama Esti. Sekejap saja wajahnya berubah pucat dan tidak mampu bicara sepatah kata pun.
“Ini tidak mungkin!” Kata Mardin dengan suara yang tegang. “Itu tidak mungkin, Winda. Esti sudah mati!”
“Mungkin SIMCard nya masih dipakai orang lain untuk menakut-nakuti kamu?” Kata Winda.
“Entahlah, tapi aku sudah tanya ke si pengirim pesan ini. Setelah aku paksa untuk mengaku ternyata mereka suami istri. Dan mungkin mereka yang pakai SIMCard milik Esti itu.” Kata Mardin.
Tiba-tiba ponsel Mardin membunyikan sebuh pesan masuk.
Ki, kuk, Ki kuk…
Ki, kuk, Ki kuk… kikik, kuikik.
Suara itu membuat Winda jengkel.
“Ya ampun! Suara itu lagi?” Pekik Winda mengumpat jengkel mendengar suara nada pesan masuk dari ponsel Mardin.
“Maaf, aku belum mengganti nada deringnya.”
“Sekarang Kuntilanak itu kirim pesan apa lagi?” Tanya Winda.
Mardin menggeleng, kemudian Winda meraih ponselnya. “Sini! Biar aku yang balas!” Pinta Winda sambil merebut hape di tangan Mardin. Lalu menulis pesan jawaban tanpa membaca pesan yang baru masuk itu.
Kami sudah tahu siapa kalian! tulis Winda. Kalau kalian masih mengirim pesan lagi, kami sudah tahu alamat kalian, akan kami laporkan ke Polisi!
“Kamu balas apa?” tanya Mardin.
“Aku balas kalau kita tahu alamat mereka dan segera melaporkannya ke polisi.”
“Hmm ...” Mardin terdiam dan pandangannya menerawang. Sedangkan Winda sibuk memainkan ponsel Mardin.
Sudah dua hari sejak pesan itu dibalas Winda. Tidak ada lagi pesan ancaman yang masuk ke ponsel Mardin. Sepertinya memang ia takut akan ancaman itu. Mardin dan winda pun bisa bernafas dengan lega.[]
***
Suatu malam Mardin mengajak Winda jalan-jalan dan Winda sendiri setuju karena beberapa hari ini mereka mengalami ketegangan dalam hubungan akibat urusan dengan pesan WhatsApp dari Kuntilanak. Kesempatan ini mereka gunakan untuk memperbaiki hubungan dengan cara pergi ke sebuah cafe yang cukup gaul.
Café itu didesain dengan sangat elegan. Interior yang mereka ciptakan juga membuat nyaman pengunjungnya. Tidak begitu ramai, namun cocok untuk pasangan muda-mudi yang lagi kasmaran. Lampu-lampu tampak temaram dan berkedip sangat indah.
Beberapa menu makanan sudah terhidang di atas meja. Potatos skin dan beberapa cemilan lainnya. Winda menyedot minumannya. Malam ini mereka menikmati tanpa pesan dari Kuntilanak yang selama ini mengganggu Mardin.
"Bagus ya langitnya. Penuh bintang.” Kata Winda.
“Sepertinya malam ini sangat cerah.” Ucap Mardin sambil menyuap makananya ke dalam mulut.