"Sebentar saja, Pak," pinta Ken sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
Laki-laki itu terdiam sesaat sambil menatap Ken diam. Dia seperti tahu sesuatu. Hingga akhirnya, laki-laki tua itu mengangguk.
"Baiklah ...."
Bai, Ken, Sumi, dan Husain mengembuskan napas lega dan tersenyum.
"Lebih baik bicara di rumah saya saja. Tidak enak di sini," ujarnya yang kini melembutkan suaranya. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan sangat menentang. Karena menganggap rombongan Bai itu adalah orang-orang yang sering berbuat kesyirikan di hutan yang dekat desanya.
"Di sebelah mana rumahnya, Pak?" tanya Bai.
"Di sebelah sana." Telapak tangan laki-laki itu mengarah pada sebuah rumah kayu yang ada di sebelah masjid. "Mobil parkir di depan rumah saja. Biar aman. Nggak dilirik orang yang mungkin punya niat jahat," sambungnya.
"Pindahkan saja, Husain," titah Sumi pada adiknya yang mengangguk.
"Iya, Mbak," sahut Husain. Dia pun permisi untuk memindahkan mobilnya ke tempat yang aman. Bai, Ken, dan Sumi berjalan mengikuti langkah laki-laki tua itu masuk ke dalam rumah kayu dengan lantai beralaskan tanah.
"Assalamu'alaikum," ucap Bai ketika masuk ke dalam rumah tersebut. Disusul Ken, Sumi, dan yang terakhir Husain setelah dia selesai memindah mobilnya.
"Wa'alaikumsalam. Silakan duduk," sahutnya dengan ramah. "Maaf, hanya seadanya," sambungnya.
"Bapak tinggal sendiri di sini?' tanya Sumi sambil memperhatikan sekitar.
"Iya. Istri saya meninggal satu tahun yang lalu."
"Anaknya?"