Tiiin..tiiin…
Mobil yang dikemudikan ayahku memasuki pelataran sebuah rumah kuno bergaya jawa. Belum juga mobil berhenti, aku sudah melihat kakek dan nenekku keluar dari dalam rumah. Benar saja, suara klakson yang tadi dibunyikan ayah, adalah sinyal pemberitahuan kalau kami sudah sampai di depan rumah.
Begitu turun, aku disambut pelukan dari kakek dan nenekku. Tidak ketinggalan pelukan untuk ayah dan ibuku. Kami saling bertanya kabar. Ayahku menjawab sambil mencium tangan kakek dan nenek. Tentu saja aku dan ibuku segera mengikuti.
“Waah…Hakim sekarang sudah besar ya, kelas berapa sekarang?”
“Hakim sekarang kelas delapan SMP kek. Kemarin terima rapor akhir tahun, baru saja naik kelas” jawabku bangga.
“Ooh.. pantas saja sudah besar. Sebentar lagi sudah masuk SMA kan ya?” kali ini kakek berjalan sambil merangkul pundakku.
“Ayo ngobrolnya di rumah saja, kasihan mereka capek,” pungkas nenekku.
Ya..ya..ya.., ini rumah kakek dan nenekku. Sekali lihat pasti sudah tahu, kalau rumah ini sudah berdiri selama puluhan tahun. Rumah bergaya jawa berbahan kayu jati asli, lengkap dengan ukiran di dinding dan tiang rumah. Kalau tidak salah, model rumah ini disebut sebagai rumah joglo. Itu yang aku peroleh dari pelajaran IPS sewaktu di Sekolah Dasar dulu.
Layaknya rumah joglo pada umumnya, rumah kakekku punya pelataran yang luas. Sekitar dua kali besarnya dari lapangan badminton di kompleks rumahku. Kata kakek memang rumah di desa seperti ini. Halamannya luas untuk menjemur hasil sawah saat panen tiba.
Seperti biasa, aku selalu dikirim ke rumah kakek dan nenek saat liburan sekolah. Kata ibuku, lebih baik aku menghabiskan waktu liburku di rumah kakek. Daripada hanya membaca komik dan tidur di rumah. Ibu dan ayahku jarang sekali bisa menemaniku saat liburan. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor. Aku maklum, ibu dan ayah bekerja keras kan juga untukku.
“Ini minum dulu, pasti di jalan panas ya,” nenekku menyodorkan segelas es sirup kesukaanku. Setiap kali aku datang ke mari, es sirup rasa coco pandan buatan Mbak Yanti selalu tersaji di meja. Lengkap dengan cemilan biskuit dan aneka kue basah.
Kami semua menikmati es dan cemilan. Sambil bergantian bertukar kabar dan cerita. Nenekku asyik ngobrol dengan ibuku, ayahku dengan kakekku, sementara aku hanya sesekali tersenyum ketika mereka menoleh ke arahku.
Pandanganku kemudian mengarah ke depan rumah kakek. Terdapat hamparan sawah luas yang enak sekali dipandang. Di tepi sawah, tepat di depan rumah kakek ada sebuah gubuk kecil. Gubuk kecil tanpa dinding, yang biasa aku sebut dengan gazebo. Dulu aku sering menghabiskan waktu di sana. Bersama anak-anak seusiaku yang tinggal di dekat rumah kakek. Sederhana saja, kami makan rujak buah atau membaca serial komik detektif conan. Yaa, komik koleksiku yang selalu aku bawa.
Sudah lama aku tidak bertemu teman-temanku di sini, mungkin sekitar dua tahun. Liburan tahun lalu, aku ke rumah kakek dan nenek yang lain. Hehehe, maksudnya rumah kakek dan nenek dari pihak ibu. Kalau sekarang ini, aku ada di rumah kakek dan nenekku dari pihak ayah. Aku dekat sekali dengan keempatnya, maklum aku cucu satu satunya. Jadi secara bergantian, waktu liburanku selalu aku habiskan di rumah kedua kakekku.
“Kim ayo sholat dulu, habis ini kita makan siang. Pasti cacing di perutmu sudah meronta-ronta,” gurauan ayahku membuyarkan lamunanku.
“Ayo cepetan, habis itu ayah sama ibu langsung pulang ke rumah,” tambah ibuku. Aku hanya tersenyum masam. Kemudian memamerkan gigiku ke arah ayah dan ibu.
Selepas sholat kami semua makan siang, lagi-lagi masakan Mbak Yanti. Nasi sayur asem, oseng ikan asin, sambal mentah, lalapan, dan tempe mendoan. Sangat segar jika dimakan sambil melihat hamparan sawah di depan rumah.
***
“Ayah sama ibu pulang dulu, ingat kamu jangan nakal lho di sini,” tentu saja itu nasehat ibu. Selalu sama, aku tidak boleh nakal dan merepotkan kakek nenek.
“Siap ibunda,” jawabku meringis, tangan kananku ku tempelkan di keningku. Ibu tersenyum sambil mengusap kepalaku.