“Ada orang hilang,” kata kakek sambil memandangku, kemudian terdiam. Aku, nenek, dan Amin juga diam kami semua menunggu lanjutan kalimat yang keluar dari mulut kakek.
“Sekitar dua minggu yang lalu. Anak gadis, kira-kira seumuran kamu lah Kim. Anak bungsunya Pak Samad yang rumahnya di dekat kuburan sana.”
Kami semua masih diam, rasanya kakek bercerita sangat lambat. Nenek dan Amin yang sebenarnya sudah tahu kejadiannya, juga ikut diam menunggu.
“Aku dan nenekmu memang sengaja tidak menceritakan ini kepada orang tuamu, takut mereka khawatir. Atau nanti kamu malah tidak jadi ke mari Kim. Kan sudah lama kakek dan nenek tidak bertemu Hakim, kangen.”
“Sebenarnya nenek juga khawatir. Nenek bilang ke kakek kalau sebaiknya kamu tidak usah kemari saja. Takut kalau kamu juga akan hilang kalau tinggal di sini,” tambah nenek.
“ Iya, kakek bilang ke nenek kalau jangan terlalu khawatir. Toh yang hilang juga selalu anak gadis. Sampai saat ini, belum ada anak laki-laki yang dikabarkan hilang.”
Aku terkejut, “Lhoh berarti selama ini bukan anak Pak Samad saja yang hilang kek?”
“Iya. Sebelum anak Pak Samad, yang hilang anaknya Pak Sukir. Kamu tahu kan Pak Sukir? yang rumahnya paling ujung, dekat barongan sana. Anak Pak Sukir juga hilang. Mungkin sudah satu bulan ini,” jelas kakek.
Aku mengangguk, tahu betul aku siapa Pak Sukir itu. Aku sering bertemu pak Sukir saat sholat di Langgar. Orangnya ramah dan sering menyapaku duluan. Dulu aku dan Amin pernah minta bambu untuk bahan layangan. Di samping dan belakang rumah pak Sukir, ada barongan yang cukup luas. Barongan itu rumpunan pohon bambu. Lebih gampangnya, barongan itu seperti hutan yang semua isinya pohon bambu.
“Apa tidak ada yang lapor ke polisi kek?” tanyaku.
“Sebenarnya Pak Kepala Desa sudah lapor polisi. Tapi ya, belum ada titik terang sampai sekarang,” kakek meyeruput teh hangat yang sejak tadi dipegangnya. “Orang-orang desa sini percaya kalau anak-anak gadis yang hilang itu bukan karena dicuri orang.”
“Terus kenapa kek?”
“Digondol lelembut Kim,” sahut Amin
Aku hanya memercingkan mataku, aku tidak percaya. Aku menganggap Amin hanya bercanda.
“Iya Kim aku serius. Benar kan kek?” kali ini Amin meminta bantuan kakek untuk membuatku percaya.
Dengan tenang kakek menjawab “Kata orang-orang di sini memang begitu. Soalnya setelah hilang, di halaman rumah yang bersangkutan, selalu ditemukan kembang tujuh rupa. Selain itu tidak ada satu pun jejak yang lainnya. Katanya digondol lelembut. Anak-anak gadis itu seperti lenyap begitu saja,” kakek bergeser membenahi posisi duduknya.
“Selain itu, semua anak gadis di desa ini hilang pada malam jumat. Anak Pak Samad hilang pada malam jumat pon. Kalau anaknya Pak Sukir, hilang pada malam jumat pahing.”
Mendengar penjelasan dari kakek aku merinding. Aku ingat film horror yang aku tonton. Malam jumat pasti ada hubungannya dengan munculnya hantu. Biasanya pada malam jumat tertentu, bisa bertambah kuat. Tapi tenang saja, aku tidak takut. Sekarang hanya sedikit merinding saja. Iya benar, hanya sedikit.
“Menurut kepercayaan jawa kami semua harus mewaspadai malam jumat. Entah malam jumat dengan pasaran apapun. Entah itu jumat pon, jumat wage, kliwon, legi, atau pahing. Soalnya biasanya pada jumat-jumat tertentu, digunakan orang-orang yang memiliki ilmu hitam. Bisa saja ilmu-ilmu kebatinan. Sekedar untuk praktik ilmu.”
“Benar Kim, kata mbahku juga begitu,” Amin menyahut.
Aku benar-benar tidak mengerti maksud perkataan Amin dan kakekku. Aku memang tahu kalau ada yang menggunakan ilmu hitam, seperti teluh dan guna-guna. Tapi semua itu, aku ketahui dari film horor yang aku tonton. Aku tidak pernah menjumpainya secara langsung. Apalagi di kota tempat tinggalku. Semua serba modern, tidak akan ada yang percaya hal-hal mistis seperti ini. Kalau ada masalah, langsung tegur saja orang yang bersangkutan. Atau kalau orangnya sudah tidak sabaran, ya sudah langsung dilabrak.
“Memang kejadiannya seperti apa kek?” aku berusaha memperoleh penjelasan yang lengkap dari kakek.
“Keterangan yang diberikan Pak Samad dan Pak Sukir sama. Anaknya tidak kunjung pulang saat pamitan ke Langgar. Anak Pak Samad hilang, setelah jamaah sholat isya’ di Langgar. Kalau anaknya Pak Sukir, hilang sekitar waktu sholat subuh.” Kakek membenarkan posisi duduknya lagi. “Itu sebabnya, kamu lihat hanya ada sedikit jamaah di Langgar saat sholat subuh tadi.”
Kepalaku mengangguk-angguk, tapi pikiranku masih tidak percaya. Masak iya, masih ada anak gadis hilang dibawa mahluk halus. Kisah seperti itu sering aku lihat di film-film horor yang aku tonton. Belum sekalipun aku melihat kisah ini benar-benar terjadi.
“Makanya Kim, kalau habis sholat subuh kami langsung pulang. Kata Pak Sukir setelah sholat subuh, anaknya masih tinggal dulu di Langgar. Katanya mau tadarus sebentar. Eh sampai malam gak pulang-pulang,” celoteh Amin.
“Kalau kamu nggak usah kawatir Min. Kamu gak akan hilang, setan juga ngambilnya pilih-pilih. Kalau model seperti kamu ini, mana ada yang mau Min,” Nenek berkata sambil tertawa keras sekali.
Aku dan kakek juga ikut tertawa. Kalau Amin, dia hanya menghembuskan nafas panjang. Dia tidak marah, hanya saja sudah pasrah dengan candaan nenek. Dia kalah telak.
***
Aku sudah mandi pagi, kulihat masih jam sembilan. Amin masih menungguku di teras rumah. Katanya mau ajak aku main sama teman-teman yang lain.
Aku menghampiri Amin, dia manggut-manggut sendirian. Persis seperti orang yang sedang menikmati lagu lewat earphone. Tapi kulihat dia tidak memakai earphone, dia juga tidak sedang bernyanyi. Dia hanya manggut-manggut.
“Min!” sengaja aku bersuara keras, sambil menepuk sebelah pundaknya. Dia hampir jatuh tersungkur. Mungkin itu juga karena efek manggut-manggut, yang dia lakukan sejak tadi. Kalau tidak kutarik kaosnya, sudah pasti dia akan mencium lantai teras rumah kakek.
“Hush! Kamu ini Kim, untung saja aku gak jatuh. Nanti bisa-bisa wajah gantengku ini terluka.”
“Habis, kamu manggut-manggut gak jelas sih Min. Mau jadi saudaranya Maneki Neko?”
“Siapa itu Maneki Neko Kim?”
“Itu lho kucing yang tangannya melambai-lambai, terus kepalanya juga manggut-manggut kayak kamu. Biasanya ada di toko-toko milik orang Tionghoa,” jelasku.
“Oooooo, yang itu,” kali ini dia juga manggut-manggut.
“Kalau kucing itu sih, dipercaya orang Tionghoa bisa menarik pelanggan ke tokonya. Jadi bisa mendatangkan rejeki. Lha kalau kamu Min? bisa mendatangkan apa?” tanyaku ke Amin.
“Ada lah pokoknya Kim, Insya’allah datang yang baik-baik. Toh Perilaku orang juga bisa mendatangkan kebaikan to? yang penting perilakunya baik, gak merugikan orang.”
“Iya..iya,” Kali ini giliran aku yang manggut-manggut. “Ayo Min, kamu mau ajak aku ke mana?”
“Kamu mau nggak aku ajak cari orang hilang? Nanti sama Singgih dan Adi juga,” Amin terlihat serius sekali.
“Lhoh buat apa? Gimana caranya? Mau cari ke mana memangnya kamu Min?” aku jadi bingung dengan tingkah Amin.
“Ya kita cari saja Kim, nanti juga ada jalanya.
“Ya tapi kan juga pakai rencana Min”
“Ha ha ha, iya benar juga Kim, aku hanya bercanda.”