Tepat sesuai kata Amin. Sekarang kami semua sudah berkumpul di teras Langgar. Tadi seusai sholat Magrib semua jamaah pulang, termasuk kakek. Sekarang hanya ada aku, Amin, Singgih, dan Adi. Oh iya satu lagi, di dalam ada kang Sholeh pengurus Langgar. Kurang tau kenapa dipanggil kang. Setauku panggilan kang biasa digunakan di daerah Bandung sana. Padahal Kang Sholeh ini asli orang desa sini. Atau mungkin maksudnya kakang, kalau kakang kan bahasa jawa. Tapi masak iya maksudnya kakang. Aku jadi ingat film-film kolosal tentang kerajaan Jawa dulu.
“Sekarang apa Kim? kenapa kamu mau kami berkumpul di sini? Malam-malam lagi, besok kan juga bisa,” Singgih langsung to the point. Kami tadi sudah saling menyapa setibanya di Langgar, sebelum sholat magrib. Jadi tidak perlu basa basi lagi.
Ketika aku berlibur ke rumah kakek, aku punya tiga teman dekat. Selain Amin aku juga dekat dengan Singgih dan Adi. Karena rumah mereka agak jauh dari rumah kakekku, jadi kami tidak terlalu sering berkumpul. Waktuku lebih banyak kuhabiskan dengan si Amin.
Seperti yang Amin bilang, kalu bicara tentang agama Singgih jagonya. Anaknya rajin mengaji, sholatnya juga rajin terus selalu tepat waktu. Aku pernah mendengar suaranya ketika ikut tadarus di Langgar ini, merdu sekali. Berbeda dengan Amin yang suka sekali bicara, Singgih orangnya jarang bicara. Bukan pendiam, tapi dia hanya bicara seperlunya, dan langsung ke Intinya.
Karena rumah Singgih paling jauh, dia jarang ikut jamaah di Langgar ini. Paling dia baru ke sini kalau ada aku, atau Amin yang memintanya untuk jamaah di sini. Dia lebih sering pergi ke Langgar dekat rumahnya, di pertigaan masuk desa sana.
“Kalian dengar kan cerita tentang anak gadis di desa ini? Mereka yang hilang dibawa mahluk halus,” kataku mengawali.
“Hush, memang kamu tau kalau mereka dibawa mahluk halus Kim?” tanya Adi.
“Wah hebat kalau kamu tahu Kim. Kalau aku sih nggak tahu, pas bawa juga gak ngomong-ngomong ke aku,” Amin menyahut begitu saja.
“Memangnya kamu mau kalau setannya ngomong dulu ke kamu Min?” Singgih menyahut.
“Astaghfirullah Nggiiih amit-amit, jangan sampai Nggih. Membayangkan saja aku sudah merinding.”
“Ya makanya Min kita kan belum tau hilangnya kenapa. Bukan berarti orang desa bilang dibawa lelembut terus kita juga ikut-ikutan bilang begitu. Kan belum ada penyelidikan lebih lanjut min,” tegas Adi.
“Iya iya,” Amin menyerah begitu saja
Adi memang selalu berpikir rasional. Diantara ketiga temanku Adilah yang lebih mirip aku. Dia selalu berpikir rasional, argumennya juga selalu logis. Dia tidak pernah menyinggung hal-hal yang belum tentu kebenarannya. Selain itu Adi juga termasuk anak yang cerdas. Dia juara matematika di sekolahnya. Selalu dapat rangking satu di kelas. Dia juga pernah menebak pelaku dari salah satu seri komik detektif conan yang aku bawa. Bagiku dia sungguh anak yang luar biasa. Tapi masih ada satu kelemahannya. Meski otaknya pintar dan selalu berpikir logis, si Adi ini juga punya rasa takut. Yaa mungkin sama seperti aku, sedikit-sedikit suka merinding.
Rumah Adi tidak jauh dari Langgar ini. Jaraknya hanya selisih empat rumah, jadi dia sering ikut jamaah di sini. Kalau rumah Adi dari rumah kakek selisih tujuh rumah, Langgar ini di tengah-tengahnya. Jika aku buat denahnya kira-kira seperti ini.
Hanya ada satu jalan utama di desa. Jika ditarik lurus dari jalan itu yang pertama adalah rumah Singgih, kemudian rumah Adi, Langgar, rumah kakek, dan di belakang rumah kakek ada rumah Amin. Langgar adalah titik tengah dari rumah kami semua. Kalau dijadikan tempat kami bertemu memang sangat pas.
“Oh iya kata kakek rumah yang anaknya hilang itu selalu ditinggali kembang tujuh rupa, kalau begitu bisa jadi pelakunya manusia” aku memulai lagi pembicaraan.
“Bisa jadi, kita kan sementara ini hanya bisa menduga saja. Masalahnya, orang-orang di desa ini kan lebih percaya kalau ini semua ulah mahluk halus,” tegas Adi.
“Memangnya pernah ada mahluk halus yang suka kasih-kasih kembang tujuh rupa? Mbahku belum pernah cerita ke aku,”
“Ya kamu coba tanya saja ke mbah buyutmu Min, siapa tau dulu pernah ada yang seperti ini. Kan bisa kita jadikan referensi,” saranku.
“Masalahnya kan mbah buyut si Amin sudah meninggal Kim, delapan bulan yang lalu,” sahut Adi.
“Oh maaf..maaf. Maaf ya Min aku nggak tau,” aku jadi merasa bersalah ke Amin.
“Uda Kim, nggak papa kok, santai saja.” Seperti biasa Amin memang baik hati.”
“Jadi bagaimana? Aku merasa kalau ini semua bukan ulah makhluk halus. Aku ingin tahu sebabnya, Apa kita selidiki saja?” usulku.
“Kita? kita ber empat?” tanya Amin.
“Iya lah Min, kita berempat. Aku, kamu, Singgih, sama Adi. Kita berusaha bantu penyelidikannya polisi, tapi pakai cara kita sendiri. Soalnya ada kemungkinan kalau semua anak gadis itu diculik. Nah kan kalau warga lokal lebih ahli mengenali wilayahnya Min. Bagaimana?’ aku mencoba meyakinkan mereka semua.
“Oke aku sih setuju. Ayo kita bentuk tim. Amin sama Singgih bagaimana?” Adi berkata sambil melihat mereka berdua. Singgih dan Amin cuma mengangguk.
Braaaaak..!
Tiba-tiba terdengar suara yang keras dari dalam Langgar. Seperti bunyi sesuatu yang terjatuh. Spontan kami semua langsung berlari masuk Langgar, memeriksa apa yang terjadi.
Di dalam kami melihat Kang Sholeh duduk terdiam. Sepertinya kang Sholeh juga terkejut. Tadi dia sedang membaca Al qur’an, saat tiba-tiba bunyi itu terdengar. Kami semua segera mencari sumber suara. Karena Langgar yang tidak begitu besar kami segera mengetahuinya.
Ternyata bunyi papan tulis yang pakunya copot. Papan tulis yang cukup besar, ukurannya kurang lebih dua kali satu setengah meter. Biasanya papan itu digunakan anak-anak mengaji setelah sholat ashar. Bukannya lega sudah ketemu sumber masalahnya, aku jadi tambah merinding. Mana bisa papan sebesar ini jatuh tiba-tiba tanpa ada sebabnya.
Sepertinya tinggal di sini saat ini mempengaruhi akal pikiranku. Kadang-kadang aku juga suka merinding tanpa ada sebabnya. Padahal akal pikiranku mengatakan hal-hal yang logis saja. Tapi tetap saja, aku merinding. Mungkin teman-temanku juga, atau mungkin Kang Sholeh juga.
“Kok bisa jatuh kang?” tanya Amin
“Aku juga nggak tau Min, mungkin kena angin.” Jawab Kang Sholeh.
“Perasaan dari tadi anginnya biasa-biasa saja kang, nggak terlalu kencang,” jelas Singgih.
“Mungkin temboknya yang gak kuat nahan pakunya. Sudah lapuk, makanya bisa copot,” jelas Adi.
“Sudah..sudah, besok kang Sholeh perbaiki. Sekarang sudah waktunya sholat Isya’. Siapa yang mau Adzan?” tanya Kang Sholeh pada kami semua.
“Aku saja kang,” Singgih menawarkan diri.
Singgih segera berjalan ketempat seperangkat mic dan sound system. Dia menyalakannya, kemudian segera adzan. Sementara kami semua mengambil air wudhu, bersiap menunaikan sholat isya’.