Kampus Trisakti, Jakarta, 2023.
Desas-desus bahwa akan ada unjuk rasa besar-besaran di depan Gedung DPR tersebar dengan cepat di kampus. Unjuk rasa nantinya akan menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu. Tujuan mahasiswa itu jelas, mereka menolak keras Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan para buruh dan pekerja.
Ajakan untuk berunjuk rasa itu makin nyata menjelang siang.
Beberapa orang dengan kemampuan komunikasi yang baik mendapat mandat untuk mendatangi satu per satu circle mahasiswa di kampus Trisakti. Tidak semua mahasiswa diajak, hanya yang sekiranya antusias saja yang kemudian berkumpul di Kantin Aneka Racun untuk merancang rencana lebih matang. Meski begitu, biasanya di hari H nanti yang datang akan berkali-kali lipat jumlahnya, karena ajakan dari mulut ke mulut selalu terbukti berhasil mengundang lebih banyak orang.
"Hari dan tanggalnya sudah sepakat, ya?" kata salah satu koordinator.
Kepala-kepala di sekelilingnya serempak mengangguk."
"Bagaimana dengan faktor keamanan dan keselamatan kita?"
"Kita sudah berkoordinasi dengan kepolisian, izin juga sudah dipastikan keluar. Tidak perlu terlalu cemas. Kita kan unjuk rasa damai saja," kata salah seorang dari mereka.
"Sedamai apa pun biasanya rusuh juga."
"Kalau ada peluru tajam bagaimana?" sahut seorang perempuan. Rautnya terlihat gentar.
"Kita maju karena berani."
"Berani mati?"
Pertanyaan itu mengambang di udara. Yang turut mendengarkan pertanyaan itu kompak menundukkan kepala, pura-pura sibuk mengaduk teh dengan sedotan atau sengaja menyeruput kopi selama mungkin.
Bagaimana hati mereka tidak cemas. Sebetulnya nyali mereka sempat ciut juga. Bagaimana tidak, setiap mereka berangkat kuliah, mau tidak mau mereka harus melintasi Taman Reformasi, tempat monumen peringatan 12 Mei Reformasi berdiri. Monumen itu berhasil menghantui mereka karena darah sungguhan pernah tertumpah di sana.
Anak-anak muda itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Generasi mereka kerap disebut sebagai Generasi Stroberi, tampak bagus di luar tapi lembek di dalam. Generasi yang sebenarnya kreatif dan tidak takut mengungkapkan pendapat, namun disebut mudah menyerah jika mengalami tekanan sosial.
Julukan itu menyudutkan mereka. Apalagi ada anggapan jika anak sekarang tahunya hanya main Twitter dan Instagram saja. Semua dijadikan konten. Ditambah dengan tuduhan: jangan-jangan mereka berangkat ke gedung DPR bukan untuk demo, melainkan malah foto-foto di lokasi, atau malah joget-joget untuk konten Tiktok. Dramatisasi yang dilakukan hanya untuk mendapatkan like, dan bukannya untuk memperjuangkan suara rakyat.
Tidak mudah untuk mendapatkan massa yang benar-benar ingin bergerak menuntut kebijakan yang tidak pro-rakyat. Itu sebabnya mereka bergerilya menyebarkan ajakan unjuk rasa. Mendata siapa saja yang siap hadir, termasuk untuk urusan pembuatan pamflet untuk disebarkan ke semua mahasiswa agar mendukung aksi unjuk rasa nanti.
*
Kasak-kusuk itu akhirnya sampai juga ke telinga Budi. Setiap kali ada kabar tentang unjuk rasa, hatinya seketika resah.
Budi duduk termangu di Taman Reformasi. Dalam hati ia membatin nama-nama mahasiswa Trisakti yang gugur pada tanggal 21 Mei 1998 itu: Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Jiwa-jiwa muda yang dipaksa hilang.
Rasa nyeri tiba-tiba menyerang betisnya. Spontan dadanya turut berdesir. Budi menunduk, menepuk-nepuk kaki kanannya, tempat peluru tajam pernah bersarang. Sakitnya tak pernah benar-benar hilang meski sudah dua puluh lima tahun lewat.
Budi berbisik pada angin yang meniup lembut sore itu. "Aku tidak menyimpan dendam." Kalimat itu bagai mantra yang harus dirapal setiap saat agar hatinya yang resah kembali tenang. Baginya, nyeri di kakinya itu adalah pengingat.
Matahari makin turun. Namun Budi belum beranjak dari duduknya. Ada kekhawatiran yang menyesakkan dadanya.
Unjuk rasa besar selalu terjadi di setiap rezim. Setiap kali mahasiswa menggelar unjuk rasa, setiap kali itu pula isu yang sama diembuskan. Dosa-dosa Soeharto selalu menjadi sasaran. Sementara kebaikan-kebaikan Orde Baru seolah tak kasatmata dan mendapat nol pujian.
Anak-anak ini tahu apa? Budi bergidik ngeri.
Ia tergesa berdiri. Namun nyeri hebat di kakinya mencegahnya bergerak terlalu jauh. Mau tak mau Budi kembali duduk. Satu hal yang Budi selalu lupa: ia sudah tidak muda lagi. Umurnya 75 tahun sekarang. Hampir semua sendi di tubuhnya terasa sakit. Bahkan jantungnya sering berdebar tak sesuai aturan.
Ia menarik napas, mencoba mengatur detak jantungnya yang memburu.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, perlahan Budi menegakkan punggung dan mulai berjalan.
Kampus tidak pernah benar-benar sepi. Budi meninggalkan gerobaknya di dekat gerbang. Satpam di dalam pos menyeruput kopinya dengan berisik. Budi melambaikan tangan sekadarnya.
Kantin masih ramai. Budi muncul di belakang kerumunan mahasiswa yang serius berdiskusi.
"Lepas Isya datang ke warung," katanya tiba-tiba. "Saya punya cerita untuk kalian."
Anak-anak itu melongo. Namun ada beberapa orang yang spontan mengiyakan sambil mengacungkan jempol.
*
Terminal Grogol menjelang petang
Budi duduk di atas bangku kayu panjang. Ia merokok sambil mengamati agen koran yang sedang memuat koran-koran yang belum laku ke dalam pikap.
"Sekarang koran tidak laku lagi," katanya pada Agus, sang agen.
Yang diajak bicara hanya tersenyum sambil terus bekerja. Agus menutup bak dengan terpal dan mengeratkan tali pengikat hingga terpal menutup sempurna.
"Orang hanya membelinya untuk alas kompor," lanjut Budi.
"Tidak setiap hari ada berita besar di negara ini, Pak Bud," jawab Agus sambil meringis.
"Sebetulnya ada saja, tapi berita besar sengaja dikecilkan untuk menutupi borok pemerintah," kata Budi. Ia melumat rokoknya ke asbak.
Agus tertawa kering. "Duh, saya kurang tahu kalau soal itu."
"Kamu mana tahu,"sungut Budi sambil menyulut sebatang rokok baru. Asap kembali mengepul di sekelilingnya. "Itu karena kamu tidak pernah membaca koran yang kamu kirim."
Sebenarnya Agus lebih tahu apa yang terjadi pada perusahaan penerbitan di masa digital seperti sekarang. Berita begitu mudah didapat melalui ponsel. Dimulai sejak beberapa tahun ke belakang, ketika satu per satu majalah, tabloid, dan beberapa koran terpaksa berhenti mencetak berita. Ada yang beralih menjadi koran digital, tapi tidak sedikit pula yang benar-benar berhenti beroperasi. Sekarang orang membeli koran hanya karena kasihan pada sang loper yang tampak murung menunggui dagangannya. Atau kadang seperti yang Pak Budi bilang barusan, hanya untuk alas kompor atau pembungkus barang.
Agus meloncat masuk ke mobil. "Pak Bud mulai lagi, mulutnya pahit," keluhnya.
Tri, istri Budi, tergesa keluar warung. Perdebatan kecil itu mau tak mau harus ia juga yang turun tangan mendamaikan. Meski punggungnya sedikit bungkuk karena usia, tapi gerakan Tri tetap gesit.
"Maaf, Gus," seru Tri sembari mengeringkan tangannya dengan serbet. "Pak Budi lupa minum obat."
Budi merengut.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah kebal disengiti."
"Ngopi dulu, Gus?" ajak Tri.
Agus sudah menutup pintu. Kepalanya melongok dari jendela. "Besok saja, Bu, setelah mengantar koran."
"Ya, ya, sekali lagi maaf ya, Gus."