Tumbang

Sekarmelati
Chapter #3

Bab 2. Krisis Moneter

Jakarta, 1997


Harga beras terus naik di pertengahan tahun. Harga bahan pokok lainnya ikut-ikutan naik. Beruntunglah orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Bagai kebakaran jenggot, mereka bergegas menyerbu tempat perbelanjaan dan memborong bahan-bahan makanan yang tersedia. Sebentar saja rak-rak yang tadinya dipenuhi barang jadi banyak yang kosong. Troli-troli belanja penuh sesak hingga sulit didorong. Antrian kasir mengular.

Sementara rakyat kecil terpaksa gigit jari karena tertinggal di belakang. Entah kenapa, dalam situasi seperti ini, justru orang-orang kaya yang begitu takut kekurangan sampai harus berbelanja sebanyak-banyaknya.


Tri ikut memutar otak. Bagaimana cara mengakali harga kebutuhan yang melonjak? Uangnya jauh dari cukup. Dompet butut berlogo toko emas digenggamnya erat-erat. Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, ia akhirnya meninggalkan pasar. 

Dalam perjalanan Tri mendengar keluh-kesah orang-orang yang keberatan dengan kenaikan harga bahan pokok. Toko-toko dan kios-kios pasar enggan memberikan hutang. Bagaimana jika inflasi makin tak terkendali? Kerugian sudah terbayang di depan mata. 


Tri pulang dengan tangan kosong. Dompetnya ditaruh begitu saja di atas meja. Ia pergi ke dapur dan duduk merenung di atas dingklik. Dalam hati ia berhitung. Beras, minyak goreng, telur, gula, minyak tanah. Ia berhenti begitu matanya mulai berkaca-kaca. Semua menjadi amat mahal. Sungguh tidak masuk akal, pikirnya. Tri menyeka mata dengan lengan baju. 


"Tri, aku pulang." Pemberitahuan itu selalu diucapkan Budi setiap kali ia memasuki rumah, meski sebetulnya kedatangannya sudah pasti terdengar oleh istrinya. Ada suara-suara khas yang mengiringinya menuju rumah. Suara dentingan botol-botol kaca yang saling beradu ketika Budi berjalan mendekati rumah. Jalanan khas kampung di tengah perkotaan. Berlubang-lubang dan minim perbaikan. Setiap lubang yang dilindas roda gerobaknya selalu membuat muatannya berguncang-guncang. Lalu ada suara ketukan sebanyak tiga kali di pintu sebelum Budi memasukkan anak kunci dan memutarnya. Suara berkeriut dari engsel yang berkarat juga salah satu penanda jika ia sudah pulang.


"Bapak sudah makan?" Tri muncul dari belakang kelambu dapur. Kedua tangannya penuh dengan piring nasi berlauk tempe dan sambal terasi dan segelas air putih di gelas berukuran jumbo. Satu-satunya kesempatan untuk minum air putih hanya di saat makan, selebihnya Budi hanya minum kopi dan sesekali teh hangat manis. 

Sudah makan atau belum, tetap saja Budi harus makan. Tri tidak mengenal penolakan, apalagi soal makanan. Ia akan memaksa siapa saja yang masuk ke rumahnya untuk makan, meski hanya dengan lauk sekadarnya. 


Tri pantang membiarkan tamunya pulang dengan perut kosong. Mungkin itu pula sebabnya kenapa jarang ada orang yang datang ke rumah mereka. Bukan karena tidak ingin bertegur sapa, tapi lebih karena 'sama-sama tahu' bagaimana kondisi ekonomi masing-masing. Bagaimana mungkin seseorang tega menghabiskan jatah makan yang seharusnya Budi dan Tri makan sendiri? Setelah satu-dua kali mereka paham kebiasaan di rumah Budi, tetangga jadi sungkan untuk datang bertamu. Bapak-bapak lebih memilih berkumpul di pos jaga agar lebih leluasa mengobrol tanpa dipaksa makan. 


Kembali ke Budi yang baru saja mengunci pintu rumahnya. "Ayo, makan sama-sama," sahut Budi membalas pertanyaan Tri. 


Senyum di wajah Tri mengembang. "Mandi dulu, Pak," katanya sambil meletakkan piring dan gelas di atas tikar.


Budi masuk ke kamar. Ia melepas kemejanya dan melemparnya ke ember di sudut kamar. Sejenak ia berhenti dan mematut dirinya di depan cermin sebelum kemudian masuk ke kamar mandi sambil bersiul-siul. 


Tidak semua minumannya habis hari ini, tapi begitulah risiko pedagang. Ia tidak mengharap banyak dari hasilnya berjualan. Kebutuhan rumahnya masih bisa ditutupi dengan komisi dari dosen atau dari mahasiswa yang meminta bantuannya. 


Itulah sebabnya ia berusaha datang ke kampus sepagi mungkin. Selalu ada saja seseorang yang memanggil namanya untuk minta tolong. Dan ia melakukan semuanya dengan senang hati. 

Tentu uang yang Budi dapat tidak tentu jumlahnya, tapi itu saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan Tri. 

Lihat selengkapnya