Yuli menganga, senyumannya menghilang. Kenapa ia tidak menang? Kenapa malah mereka yang menang? Mereka kan tidak datang bersama? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Yuli akan beranjak untuk meminta penjelasan pembawa acara, kenapa ia tidak terpilih? Tapi lengannya di pegang oleh tangan kekar. Yuli melihat lengannya, lalu melihat wajah pacarnya. “Aku herus ke sana!" Bentak Yuli.
“Buat apa?”
“Aku enggak terima lah, kenapa harus mereka berdua yang menang?” sambil menunjuk ke arah panggung, di sana ada Oki dan Okta yang sedang di pakaian sash dan mahkota Prom Prince dan Prom Princess. Oki tersenyum-senyum—tersipu malu, sedangkan Okta berwajah masam, harinya sangat sial.
“Mungkin emang juri melihat mereka berdua sangat serasi.”
“Kita lebih serasi!” nada Yuli meninggi.
Rio akan bersuara, tapi kalimatnya di potong oleh pembawa acara yang akan mengumumkan pemenang Prom terakhir. “Kita bacakan pemenang terakhir kita malam ini, kira-kira siapa siswa atau siswi yang paling berpengaruh di sekolah selama setahun ini?” ucapnya, lalu membuka amplop berwarna emas.
“Siapa tau, kamu yang menang,” ujar Rio pada Yuli.
Yuli diam, dia berkemungkinan besar untuk menang. Setahun terakhir ini ia berhasil menyabet dua penghargaan dari kontes balet, dan memenangkan debat antar sekolah se-jabodetabek. Di tambah, dengan gayanya yang selalu wah—wajahnya yang cantik—juga prestasinya yang bukan main-main. Itu yang membuat nama dan fotonya selalu terpajang di majalah sekolah. Oke, mungkin ia akan menang kali ini.
“Apa kalian punya tebakan?” tanya pembawa acara.
Semua siswa saling melirik, tidak ada siswa yang paling terkenal lagi selain Yuli, Rio, dan Baskara. Pasti salah satu dari mereka yang akan menang.
“Gue udah punya namanya nih, gue bacain ya, pemenang Prom Court taun ini adalah...” kata-katanya sengaja ia gantung, agar para siswa-siswi penasaran. “... Doni Agusti.”
Krik... Krik... Krik...
Hening—tidak ada yang bersuara—tidak ada tepuk tangan—semua saling melirik ke sana dan ke mari—tidak ada yang tahu, ada nama tersebut di sekolah mereka. Siapa lagi itu? Desis hati Yuli.
“Wey, sahabat gue menang!!” satu-satunya yang bersuara hanya cowok yang memenangkan Prom Prince yang berdiri di belakang pembawa acara: Oki, ia tersenyum riang.
Dan satu-satunya siswa yang bertepuk tangan adalah seorang cowok tampan yang ada di dekat meja makanan. Baskara tersenyum riang di sana. Tapi ekspresi wajahnya berubah meringis saat mata orang-orang melihat ke arahnya.
“Dia lagi jalan ke depan, tuh,” ucapnya sambil menunjuk ke arah seseorang yang sedang berjalan menuju panggung.
Mata orang-orang itu pun mengikuti tangan Baskara yang sedang menunjuk. Mereka pun menemukan seseorang itu. Tak terkecuali dengan Yuli. Mereka menatap seseorang yang mengenakan kemeja putih—sangat pas di badannya. Rompi berkilau, dan dasi kupu-kupu berwarna merah tua yang melekat di badannya. Bibirnya menampilkan senyum manis dengan lesung pipi. Ia berdiri di atas panggung, tepat di samping pembawa acara.
Gue baru liat cowok itu, ucap Yuli di dalam hati.
“Ini dia Doni Agusti, beri tepuk tangan semuanya,” ujar pembawa upacara.
Semua orang pun bertepuk tangan. Mereka langsung saling berbisik. Betapa manisnya cowok bernama Doni Agusti itu. Lesung pipinya, senyumannya, tatapannya, terlihat seperti cowok baik-baik. Mereka pun baru tersadar, jika Doni Agusti itu adalah sahabat dekat dari Baskara.
Agus sudah mengenakan sash berwarna emas itu.
“Doni Agusti ini menang Prom Court karena dia aktif di OSIS, PMR, dan juga salah satu atlet lari estafet sekolah kita,” penonton berdecak kagum, mereka tidak tahu soal itu. “Dia juga cukup pintar di kelasnya, dia sudah menjadi nominasi Prom Court sejak taun kemaren, tapi juri memilihnya baru di taun ini. Sekali lagi tepuk tangan buat Doni Agusti.”
Wajah Yuli masam, telinganya memerah gara-gara bisikan-bisikan siswa yang sekarang membicarakan si Doni Agusti itu. Perhatian yang dulunya tertuju padanya teralihkan. Ia berbalik dan berjalan pergi meninggalkan area gimnasium.