Di toilet, Marri membersihkan wajahnya dengan air mengalir di wastafel. Sedangkan Yuli bersandar di tembok dengan tangan terlipat di depan dada. Bibirnya menyengir jijik.
“Lo tadi ngomong apaan sih? Gue kaget nyampe gue amnesia,” ucap Marri sambil mengelap mulut dan hidungnya dengan tisu.
Yuli mengembuskan napas. Lalu mengulangi kata-katanya tadi. “Gue bakalan putus sama Rio, terus gue bakal pacaran sama si Agus.”
“Sinting lo ya?”
Yuli diam. Sadar, bahwa itu ide buruk.
“Rio itu sayang banget sama lo. Kalo lo ngejar si Agus terus lo beneran cinta sama dia gimana?”
“Gue enggak bakalan cinta sama si Agus. Gue Cuma bakalan pacaran sama dia nyampe habis UN. Gue enggak bakalan pake perasaan ngejalaninnya. Setelah itu, gue bakal balikan lagi sama si Rio.”
“Otak lo jadi sinting gara-gara haus popularitas, gila,” Marri menggeleng-gelengkan kepalanya. “Terus kalo si Rio enggak mau balikan sama lo gimana?”
“Rio pasti enggak bakalan lupain gue semudah itu, dia pasti setia sama gue. Kita saling sayang.”
Marri tersenyum miris. “Saling sayang tapi lo tega ninggalin dia buat popularitas?”
Yuli diam.
“Terus, kalo si Rio tiba-tiba nyari cewek baru gimana?”
“Enggak mungkin, Rio sayang sama gue.”
“Yakin banget sih lo,” ucap Marri. “Semua kemungkinan bisa aja terjadi say.”
“Terus gue musti gimana?”
Marri seperti sedang berpikir. “Mending lo hamil, pasti bakalan jadi bahan omongan, terus lo populer lagi deh.”
“Yang ada gue di keluarin dari sekolah.”
“Ya makanya, kesel gue ngeliat lo haus banget sama sorotan orang-orang,” jelas Marri. “Lo udah cukup terkenal Yul.”
“Gue punya ide,” ucap Yuli.
Marri mengangkat ponselnya dan mendekatkannya ke telinga kanan. “Hallo, rumah sakit jiwa?”
***
Seminggu berlalu. Yuli sedang duduk di kursi penonton lapangan basket, matanya menatap ponsel yang ada di tangan kanannya. Sesekali ia melihat ke arah cowok tampan berambut cepak yang memiliki kulit kuning langsat—ia menunggu pacarnya latihan basket. Karena mereka sudah kelas XII, mereka hanya diperbolehkan mengikuti ekstrakurikuler sampai UTS di semester ini. Dan ini akan menjadi bulan terakhir Rio menjabat sebagai ketua Green Goblin; tim basket sekolah mereka.
Sepuluh menit kemudian, cowok tampan yang mengenakan jersey basket berwarna zamrud menghampirinya. Jersey basket tersebut melekat di tubuhnya yang besar dan kekar, menampilkan dadanya yang bidang, otot bisepnya mengkilap karena keringat, begitu pula dengan lehernya yang berotot, keringat masih bercucuran dari kepalanya. Ia tersenyum ke arah Yuli. Yuli membalas senyumannya. Kemudian ia duduk di sebelah Yuli, membuka tas gym hitam panjang berbentuk tabung di sisinya, lalu mengambil air mineral di dalamnya dan meminumnya.
“Kita sekarang mau ke mana?” Tanya Rio, ia tahu hari ini weekend.
Yuli tersenyum, ia berdiri, mendekat ke arah tas gym yang ada di samping Rio, dan mengambil handuk berwarna hitam dari dalamnya. “Enggak ah, kita langsung pulang aja, kamu keliatan capek banget,” sambil mengelap-ngepal kepala Rio dengan handuk.
Rio pun tersenyum. “Kan udah biasa.”
“Aku lagi enggak mau ke mana-mana sih.”
Rio mengernyit, tapi bibirnya masih tersenyum. “Kayak bukan kamu.”
Yuli hanya tersenyum, sekarang ia mengelap-ngelap leher Rio.