Jam alarm berbunyi, angka berwarna neon yang terpampang menunjukkan pukul 04:22 dini hari. Sebuah lengan keluar dari dalam sebuah bed cover polkadot berwarna coklat dan hitam. Jari-jari tangan itu mencoba menekan-nekan tombol dari jam alarm digital yang ada di atas laci kecil tepat di samping ranjang. Dan berhasil. Suaranya mati. Bed cover pun terbuka, dan duduklah seorang cowok. Matanya masih terlihat mengantuk, rambutnya acak-acakan—khas cowok-cowok saat baru bangun tidur. Ia beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan ke kamar mandi—siap menjalankan rutinitas.
Setelah bersembahyang, cowok itu mengenakan sepatu lari berwarna abu-abu—ada tiga garis hitam di pinggirannya. Kemudian ia keluar dari rumah, lalu berlari dengan kecepatan konstan. Menyusuri jalanan aspal dengan pemandangan rumah-rumah minimalis yang berbentuk sama—ada beberapa yang berbeda karena sudah di renovasi—ada juga yang berbeda warna karena sudah di cat.
Ini adalah kegiatan rutin Agus setiap pagi. Berlari selama 20 sampai 30 menit mengelilingi kompleks perumahan tempat ia tinggal selama enam tahun terakhir. Udara ibu kota masih sejuk di jam seperti ini.
Jam tangannya sudah menunjukkan pukul 05:10 pagi. Dan jam tangan itu pun menunjukkan seberapa jauh Agus berlari—25 kilometer dalam waktu 30 menit. Angkanya tidak pernah berubah selama setahun terakhir. Agus tersenyum menatap jam tangan tersebut, itu hadiah dari Baskara dan Oki saat Agus berulang tahun ke 15. Tidak mungkin ia bisa mempunyai jam tangan mahal itu jika tidak di beri oleh orang lain. Atau, jam tangan itu berhasil ia dapatkan dari lotre.
Agus masuk ke dalam rumah, dan mendapati kakak iparnya sudah ada di dapur. Sebenarnya sebelum tadi ia pergi berlari pun, kakak iparnya sudah berada di dapur. Agus menjalani aktivitas lainnya yang sering ia lakukan di pagi hari. Yaitu menyapu dan mengepel lantai. Empat puluh menit kemudian, Agus selesai, lalu ia memakan sarapan yang sudah di sediakan oleh kakak iparnya. Barulah sepuluh menit kemudian Agus pergi ke kamarnya untuk mandi, dan bersiap ke sekolah.
Pukul 06:15 pagi, Agus keluar dari kamarnya. Ia mendengar suara batuk-batuk dari kamar yang berada di depan kamarnya—suara batuk-batuk yang selalu terdengar setiap pagi. Kemudian pintu kamar itu terbuka, menampakkan laki-laki berambut jabrik yang wajahnya tidak beda jauh dengannya. Agus tersenyum kecil kepada kakaknya yang sedang meregangkan tubuh—persis seperti orang yang baru bangun tidur. Lalu Agus turun ke bawah.
“Ini dadar gulungnya udah Mbak tambahin,” ucap perempuan cantik yang sedang berdiri di depan kompor.
Agus tersenyum, lalu mengangguk kepada kakak iparnya. “Iya Mbak,” kemudian Agus mencium tangan kakak iparnya.
Kakak iparnya membalas tersenyum. “Hati-hati.”
“Iya Mbak,” Agus masih tersenyum. Kemudian ia menghampiri keponakannya yang baru berumur 2 tahun di kursi tinggi—khusus untuk balita. “Om berangkat dulu, Noval jangan nakal ya,” ucapnya kepada anak laki-laki itu.
“Ta ta,” Noval tersenyum dan membuka tutup tangannya. Mungkin, menurut anak kecil, itu tandanya dia sedang melambaikan tangan.
Agus tersenyum, ia menjinjing dua kotak plastik itu di kedua tangannya. “Agus berangkat dulu, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumusalam, jangan ngebut,” ujar kakak iparnya.
Memperkenalkan, kakak ipar dan keponakan Agus: Aprilia atau yang sering di panggil Mbak Lia, dan Noval; anaknya. Perempuan itu sudah menjadi kakak ipar Agus selama empat tahun terakhir. Dan Agus senang, karena ia memiliki kakak perempuan yang perhatian. Walaupun hanya kakak ipar. Tapi tetap saja, kakak perempuan berbeda dengan kakak laki-laki.
Cowok yang mengenakan sweater abu-abu itu sampai di depan rumah, ia menyimpan dua kotak plastik besar itu di bagian depan motor matic 150cc miliknya. Ia baru mendapatkan motor itu bulan lalu, hadiah ulang tahun ke 17 dari kakak laki-lakinya. Sekarang ia datang ke sekolah menggunakan kendaraan, bukan lagi berjalan kaki. Agus mengenakan helmnya, lalu motor pun melaju—bergabung bersama kendaraan-kendaraan lainnya di jalanan padat ibu kota pada pagi hari.
***
Tiga laki-laki sedang duduk di meja kantin yang lengang. Jam istirahat ke dua sudah berlangsung selama 17 menit. Masing-masing dari mereka memiliki minuman. Di hadapan Oki sudah tersaji minuman Boba, di hadapan Baskara sudah ada susu kotak rasa coklat, dan di hadapan Agus ada air mineral di dalam botol minumnya—ia memilih membawa air minum dari rumah—hemat.
Agus menyadari ada yang aneh dari ke dua sahabatnya. Ia mengernyit. “Lo berdua kenapa sih?”
Oki masih meminum Boba-nya, sesekali ia mengunyah. Begitu juga dengan Baskara, ia masih meminum susu kotak rasa coklat miliknya, saat sudah terdengar suara jika susunya sudah habis—ia membuka susu kotak ke dua.
“Lo berdua masih tetep mau diem aja atau cerita?” tanya Agus. “Lo juga Bas, lo mau, nanti pas pelajaran fisika beser?”
“Gue jijik sama nyokap bokap gue,” akhirnya Oki mengaku lebih dulu.