Seorang remaja laki-laki sedang berjalan, ada dua ikat bunga krisantemum putih di kedua lengannya. Tiba-tiba ia merindukan kedua orang tuanya, dan sekarang ia ingin mengunjungi mereka berdua.
“Assalamualaikum Bu, Pak,” ia mengucapkan salam.
Tidak ada jawaban.
“Agus dateng, maaf jarang ke sini, tapi Agus enggak pernah lupa buat doain Ibu sama Bapak kok,” ucapnya sambil tersenyum.
“Agus juga bawain Ibu sama Bapak bunga,” Agus menyimpan kedua ikat bunga krisantemum putih itu di dua batu nisan mengkilap—masing-masing satu ikat.
“Ibu sama Bapak liat enggak? Sekarang Agus punya dua sahabat, baik banget. Yang sering Agus ceritain, Bapak sama Ibu pasti masih inget,” Agus berbicara kepada dua batu nisan itu, seolah ke dua benda itu bisa mendengarnya—memang tidak bisa mendengar, tapi kegiatan ini kadang membuatnya lebih baik. Mengobati rasa rindunya yang hampir setiap jam selalu hadir.
Setelah hampir satu jam Agus berbicara panjang lebar tentang apa yang ingin ia ceritakan kepada Ibu dan Bapaknya, ia mengakhiri sesi berceritanya. Ia mengangkat kedua tangannya untuk memanjatkan doa kepada kedua orang tuanya, agar mereka di tempatkan sisi-Nya—tempat yang lebih baik dari dunia yang fana. “Agus pamit ya Bu, Pak. Agus bakalan sering-sering ke sini.”
Agus mengusap-usap kedua batu nisan itu, lalu beranjak dan berjalan mendekati motor maticnya yang ia parkir di pinggir jalan. Ia melihat ada seorang kakek tua yang sedang membersihkan salah satu makam, ia adalah tukang membersihkan makam. Agus pun menghampirinya. Kakek tua itu tersenyum ke arah Agus.
“Pak, ini ada sedikit uang buat Bapak, enggak banyak, tapi lumayan, bisa buat makan satu kali,” Agus memberikan satu lembar uang berwarna biru kepada kakek tua itu.
“Makasih Dek,” jawab si kakek tua, ia masih memasang senyuman, membuat wajahnya yang sudah di penuhi oleh garis mengerut.
Agus masih tersenyum. “Sama-sama Pak,” kemudian ia pergi dari tempat itu.
***
Keesokan harinya, Agus baru sampai di kelasnya. Ia kebingungan, karena Baskara terlihat murung.
“Kenapa lagi sih lo Bas?”
Tapi malah Oki yang menjawab pertanyaan Agus. “Dia kan kemaren langsung balik ke rumah gue. Baru juga isya, Abangnya dateng ke rumah gue. Nyariin dia—“
“Terus?” potong Agus.
“Ya dia keliatan marah banget lah, terus si Babas enggak jadi nginep, dia di bawa pulang sama Abangnya,” kemudian cowok bertubuh gempal itu terkekeh. Ia merasa kejadian itu sangat lucu—baginya.
“Kok dia bisa tau kalo si Baskara ada di rumah lo Ki?” tanya Agus.
Oki berdeham. “Jadi pembantu rumahnya si Babas, nelpon bokapnya, kalo si Babas enggak pulang-pulang nyampe magrib. Terus bopaknya dia nelpon orang tua gue. Kayaknya bokapnya juga nelpon Mas sama Mbak lo deh. Nah, nyokap gue jujur, kalo si Babas nginep di rumah gue. Gue lupa kan enggak kolingan sama nyokap gue. Ya kali nyopak gue mau di ajak kolingan, tentang putra bungsu keluarga Prasetya lagi. Gila enggak tuh,” cecarnya, kemudian kembali terkekeh.
“Anjing emang tuh si Bima!” sentak Baskara seraya menggebrak meja.
Kedua sahabatnya terkejut. Baskara bukanlah tipe cowok yang suka mengeluarkan kata-kata kasar.
“Apaan sih lo Bas, kok lo ngomong kasar sama Abang lo?” tanya Agus.
Sedangkan Oki hanya mengangguk-angguk.
“Gue enggak mau punya Abang kayak dia.”
“Gitu-gitu juga dia Abang lo. Mungkin cara nunjukinnya emang gitu, agak kasar, tapi dia pasti sayang sama lo,” jelas Agus.
Baskara hanya diam, rahangnya mengeras.
Oki kebingungan. Ia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Agus mengembuskan napas—keadaan seperti ini hanya akan membuat suasana semakin tidak nyaman. “Udah pada ngerjain PR Kimia belum?” tanya Agus mengubah topik pembicaraan.
“Enggak mood,” jawab Baskara malas.
“Mampus gue,” ucap Oki seraya menepuk jidatnya.