Yuli tersenyum-senyum sendiri hari ini. Ia mengingat apa yang terjadi kemarin, saat ia di bantu oleh Agus. Menurutnya, apa yang ia lakukan mulai berhasil. Ia akan mendapatkan hati Agus, dan kepopulerannya. Yuli mulai mendengar gosip-gosip kedekatannya dari para siswa. Ternyata gosip Yuli di tolong oleh Agus mudah sekali tersebar. Apa lagi saat kejadian itu terjadi, banyak siswa yang merekam video dan memotret mereka.
“Puas lo sekarang?” tanya Marri dengan sinis, di sela-sela mereka sedang berjalan di koridor sekolah.
“Ouch, sahabat gue jangan marah dong. Bentar lagi berhasil nih,” Yuli mencubit pipi sahabatnya, tapi lengannya di tepis oleh Marri. “Lo ada ide enggak, gue harus ngapain lagi?”
“Mending lo tanya diri lo sendiri.”
“Please dong Mar, lo harus bantuin gue. Biar rencana gue ini cepet berhasil,” pinta Yuli, wajahnya mirip dengan anak ingusan yang sedang meminta dibelikan es krim.
“Mending lo curhatin masalah lo ke dia. Moga aja dia jadi gila dengernya,” kemudian Marri berjalan menjauhi Yuli.
Yuli terdiam sejenak. “Ide bagus, lo emang sahabat gue Mar. I Love you!!” teriak Yuli.
Sedangkan Marri terus berjalan sambil menutup kedua telinganya. Ia berbelok ke kanan. “Stres tu anak, benar-benar ya, gue harus telepon rumah sakit jiwa.”
***
Agus sedang duduk di bangku penonton lapangan sepak bola yang di pinggirannya terdapat area lari. Ia baru menyelesaikan lari dua belas menitnya—latihan untuk ujian praktek olahraga tahun depan—ia berhasil memutari lapangan dengan jumlah sebelas putaran dalam waktu tersebut. Sedangkan Baskara dan Oki masih dalam barisan, karena nama mereka belum di panggil oleh guru olahraga.
“Hai,” tiba-tiba sebuah suara sapaan mengagetkannya.
Agus berbalik ke sebelah kanannya, dan mendapati seorang gadis cantik sedang tersenyum ke arahnya.
“Lo keringetan banget,” ucap gadis itu.
“Lo ngapain di sini?” tanya Agus.
Gadis itu semakin tersenyum lebar. “Mau ngasih air minum, sama tisu, buat lap keringat lo,” jawabnya sambil menyerahkan satu botol air mineral dan satu plastik tisu.
“Gue bawa air minum sendiri, bawa handuk juga di tas, lo enggak usah repot-repot, oke,” jawab Agus sambil tersenyum seperlunya. Tanpa menyinggung Yuli, walaupun ia agak risi dengannya, ia sudah mengenal Yuli sejak kelas sepuluh—tidak ada yang tidak mengenal Yuli, begitu juga dengan kelakuannya yang aneh.
Senyuman Yuli memudar, kemudian ia memilih untuk duduk di samping Agus.
“Lo enggak masuk kelas?” tanya Agus basa-basi.
“Gurunya lagi enggak ada.”
“Oh.”
Hening.
“Btw, gue mau bilang makasih, lo udah bantuin gue waktu itu,” ungkap Yuli, sambil tersenyum—mencoba membuat senyuman angkuhnya menjadi agak... sedikit... tulus.
“Enggak masalah,” Agus membalasnya dengan senyuman khasnya—lesung pipi yang manis.
Sekarang Yuli mencoba tersenyum miris. “Enggak ada yang kayak lo sebelumnya.”
“Maksudnya?” tanya Agus, sambil agak menukikkan alisnya.
“Enggak ada yang bantuin gue tulus kayak lo,” jelas Yuli mencoba sejujur mungkin. “Semua orang yang bantuin gue kebanyakan enggak tulus, mereka pasti punya maksud tertentu.”
“Termasuk Marri sama Rio?” tanya Agus blak-blakan.
Yuli menatap Agus tidak percaya. Kenapa cowok ini? Ada apa dengan cowok ini? Yuli bingung harus menjawab bagaimana atas pertanyaan lancangnya. “Mereka, berdua, tulus...” Yuli menelan ludahnya dengan susah payah. “...tapi waktu kejadian itu mereka lagi enggak ada.”
“Emang mereka ke mana?”
Sumpah ni cowok, kepo banget, batin Yuli. “Mungkin Marri udah pulang, waktu itu. Dan Rio...” Yuli menggantung kalimatnya, sedangkan Agus menatapnya penasaran. “Gue udahan sama Rio.”
“Oh,” balas Agus. “Gue denger sih gosipnya.”
Yuli bingung, kenapa Agus begitu santai menanggapinya? Apa dia tidak termakan ekspresi wajahnya memelas? Oke, mungkin ini saat yang tepat. “Gue jarang dapet perhatian tulus, bahkan dari orang tua gue.”
Agus masih memandangi Yuli.
“Mereka jarang ada di rumah, mereka kerja terus, kayaknya enggak pernah mikirin gue,” Yuli adalah aktris yang andal, bercerita tentang masalah hidupnya sendiri bukan hal yang sulit. “Gue enggak pernah minta apa pun, uang, mobil, perhiasan, baju, tas, sepatu, gue enggak pernah minta itu. Gue cuman mau mereka ada di rumah, ngabisin waktu sama gue, layaknya keluarga lain.”
Yuli mengembuskan napas. “Gue kadang ngerasa, mending gue mati, atau enggak usah punya orang tua sekalian,” lanjutnya sambil meneteskan air mata—buaya, walaupun tidak ada sedikit pun kebohongan dalam kata-katanya, hanya ekspresinya saja yang tidak tulus.
“Gue ngerti,” jawab Agus. Yuli menatap Agus dengan matanya yang penuh dengan air. “Tapi harusnya lo bersyukur masih punya kedua orang tua, walaupun mereka jarang ngabisin waktu bareng lo, tapi seenggaknya mereka masih hidup.”
Yuli menatap nanar Agus. Kenapa tatapan Agus selalu tulus?
“Mungkin mereka keliatan enggak sayang sama lo. Tapi, bisa jadi mereka sayang banget sama lo. Mereka nunjukin kasih sayang mereka dengan ngasih lo barang-barang itu,” Agus terdiam sejenak. “Kita manusia emang egois, selalu nyalahin orang lain, tanpa mengerti masalah-masalahnya.”
Yuli tidak percaya, seorang Agus bisa membuatnya seperti ini—merasa kotor, jijik, dan malu pada dirinya sendiri. Agus menampar Yuli dengan kata-katanya.