Desti sedang duduk di kantin, seperti biasa, ada buku tebal tentang flora dan fauna di genggaman tangannya. Matanya sedang menatap sepasang manusia yang semakin hari semakin dekat. Agus dan Yuli. Mereka berdua sering terlihat mengobrol bersama sekarang. Dan hal itu membuat Desti panas. Apalagi siswa dan siswi sekolahnya mulai menjodoh-jodohkan mereka berdua. Begitulah manusia, saat melihat seseorang cocok, pasti langsung di jodohkan.
Di sisi lain, Baskara dan Oki pun terlihat tidak suka melihat Agus dan Yuli sering mengobrol bersama. Mereka takut jika Agus akan terjebak rayuan Yuli, dan menjalin hubungan dengan rubah licik itu.
Mata Desti menangkap hal lain. Ia menatap cowok berambut cepak yang duduk bersama teman-temannya di tim basket Green Goblin. Itu Rio. Cowok tampan itu sedang menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, kedua lengannya di lipat di depan dada. Matanya mengerling ke arah Agus dan Yuli yang sekarang sedang duduk bersama di salah satu meja kantin.
Desti menggigit bibir bagian bawahnya untuk menahan emosinya. Hal ini tidak boleh berlangsung lama. Ia harus menghentikannya. Ia tidak bisa seperti ini terus, Desti pun pergi ke toilet untuk mengurung dirinya di sana sampai jam istirahat berakhir.
Di sinilah Desti sekarang—di dalam toilet sekolah yang berwarna putih. Untunglah toilet ini tidak bau, hanya saja banyak bekas lipstik. Bell masuk pun berbunyi. Desti akan beranjak, tapi saat ia sudah berdiri, Desti mendengar dua orang gadis sedang mengobrol. Ia mengenali suara mereka berdua—sangat.
“Gue ngerasa enggak enak,” suara itu terdengar seperti Yuli.
“Terus sekarang lo mau apa?” tanya suara lainnya, seperti suara Marri.
Desti buru-buru mengeluarkan ponsel miliknya, lalu merekam pembicaraan mereka berdua.
“Gue ngerasa enggak tega sama si Agus,” aku Yuli. “Dia baik banget, tulus lagi, rasanya gue enggak enak manfaatin dia buat pura-pura gue pacarin," kemudian Yuli terkikik kecil.
Desti menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang sedang ia dengar.
“Yaudahlah, mending enggak usah.”
“Gue masih butuh popularitas dia.”
Terdengar embusan napas kasar dari Marri. “Lo enggak kasihan sama Rio? Apa lo enggak sayang sama dia? Apa lo enggak cinta sama dia?”
“Gue harus ngomong berapa kali sih Mar? Gue sayang banget sama Rio, gue cinta banget sama dia. Tapi gue juga butuh sorotan Mar.”
“Terus lo mau ngorbanin perasaan si Agus? Gimana kalo dia baper?”
“Itu bukan masalah gue.”
Rahang Desti mengeras. Ia ingin sekali mencekik putri berhati penyihir itu. Bisa-bisanya dia menyakiti Agus; pangerannya.
“Walau pun gue enggak tega,” lanjut Yuli. “Tapi gue tetep harus lakuin ini, biar gue di sorot lagi.”
“Walau pun lo nyakitin hati si Agus.”
“Gue enggak peduli sama perasaan dia.”
“Oke. Terserah lo, gue enggak ikut-ikutan kalo ada sesuatu yang bakal lo sesali nanti.”
Desti menyimpan rekaman suara tersebut di ponselnya. Lalu ia menunggu Yuli dan sahabatnya pergi dari toilet. Desti mendapatkan sebuah ide. Ide yang sangat brilian. Atau mungkin, tolol.
***
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Rio berjalan menuju mobil sedan berwarna midnight black miliknya di tempat parkir mobil. Tapi sebuah panggilan dari seseorang menghentikan langkahnya.
“Rio!”
Rio berbalik dan matanya menemukan sesosok gadis mungil berpipi bulat. Rio menaikkan sebelah alisnya. “Lo manggil gue?”
Gadis itu mengangguk. “Ada yang mau aku omongin.”
“Tentang?” Rio sedikit mengernyit.
“Yuli.”
“Apa lo anak majalah sekolah?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Bukan, nama aku Desti.”
“Mau ngomongin apaan?”
“Kamu masih sayang sama Yuli?”
“Kenapa lo nanya gitu?”