Tumblr Light

Pebio Maldini Putra
Chapter #13

Awal Adalah Akhir Dari Sesuatu, dan Akhir Adalah Awal Dari Sesuatu

Seminggu kemudian, Yuli baru pulang dari liburannya. Ia berencana mengunjungi Agus di kedai tempat ia membantu Masnya. Ya, Yuli tahu, Agus yang memberitahunya. Yuli datang dengan setelannya yang menawan. Baju rajut lengan pendek berwarna merah muda dengan kerah menutup leher, dipadukan dengan rok overall berwarna hitam. Kali ini ia tidak memakai sepatu berhak tinggi, dan memilih untuk memakai sneakers full white

“Agus,” sapanya. 

Agus yang memakai celemek kulit berwarna cokelat—khas pekerja-pekerja kafe, langsung mendongak menatap Yuli. Ia sedang mengelap meja saat Yuli menyapanya. 

Beberapa karyawan lainnya langsung menatap Yuli. Terutama para kaum Adam. Mulut mereka menganga seperti goa. Mata-mata kucing garong itu langsung berliur. Memang, saat laki-laki yang kurang iman melihat Yuli, salah satu bagian tubuhnya pasti langsung menegang. Apa lagi wajah Yuli sangat cantik dan mulus—perawatan puluhan juta setiap bulan memiliki hasil yang maksimal. Harga tidak pernah berbohong. Tapi... Apakah hasil dari perawatan Yuli yang menghabiskan puluhan juta itu hanya untuk membuat para garong-garong menegang dan berliur? 

“Lo ngapain ke sini?” tanya Agus. 

“Mau nongkrong,” jawab Yuli sambil tersenyum. “Kan ini kafe, semua orang bebas nongkrong di sini, yang penting pesen makanan kan?” 

Agus melipat kain yang ia gunakan untuk membersihkan meja tersebut. “Lo mau persen apa?” 

“Cappucino sama croissant rasa cokelat,” ucap Yuli. 

Agus mengangguk. “Bentar,” kemudian ia meninggalkan Yuli. 

Di perjalanan menuju dapur, Agus di tanya beberapa karyawan lainnya. Tidak salah lagi, mereka bertanya tentang Yuli. 

“Gus, tadi siapa?” 

“Cantik banget Gus.” 

“Temen lo ya?” 

“Anjir sumpah, bodynya.” 

“Bagi no WA-nya dong.” 

Agus hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya untuk merespons para kucing garong tersebut. 

Lima menit kemudian, Agus datang dan mendapati Yuli sedang duduk sambil men-scroll layar ponselnya. Terlihat sedang melihat beberapa postingan di Instagram. “Ini pesenannya, apa ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Agus dengan menggunakan aksen suara seorang pelayan, tak lupa senyumannya yang manis. 

“Apaan sih Gus.” 

Mereka berdua pun terkekeh geli. 

“Anda bisa membantu saya dengan menemani saya duduk di sini,” ucap Yuli setelah berhenti terkekeh. 

“Tapi gue lagi kerja Yul,” balas Agus tersenyum, kembali dengan aksen biasanya. 

“Lo kan enggak benar-benar kerja, cuman bantuin Mas lo doang,” Yuli membuat sebuah alasan agar Agus bisa menemaninya duduk. “Duduk di sini lah, belum rame juga pengunjungnya.” 

Agus menimbang-nimbang. 

“Please,” Yuli mendesah. 

Mata Agus menyipit, lalu ia kembali tersenyum. “Cuma lima menit.” 

“Sip, oke, silakan duduk tuan,” Yuli mempersilahkan Agus duduk dengan sangat riang, tak lupa ia pun menirukan gaya-gaya orang Eropa saat minum teh—padahal ia meminum kopi. 

Agus hanya tersenyum, memperlihatkan giginya yang putih dan lesung pipinya. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Yuli menyeruput cappucino hangat yang tersaji di hadapannya. “Jadi selama seminggu ini, lo cuma bantu-bantu di sini doang?” 

Agus mengangguk. “Sambil belajar sih, persiapan, kalo-kalo enggak lulus SNMPTN.” 

Yuli mengangguk-angguk, lalu kembali menyeruput cappucino-nya. 

“Kalau lo, gimana liburannya? Seru?” sakarang giliran Agus yang bertanya. 

Yuli mengangguk. “Seru, walaupun bokap sama nyokap gue cuman sebentar ngabisin waktunya sama gue, tapi gue seneng.” 

Agus tersenyum, ikut senang mendengar jika Yuli senang. 

Kemudian obrolan-obrolan mereka semakin jauh. Membahas ini itu yang mungkin tidak terlalu penting. Tapi anehnya, Yuli tidak memiliki masalah, bahkan Agus pun lupa waktu. Tak sadar jika sekarang kafe sudah agak penuh oleh pengunjung. 

“Gue balik kerja dulu ya Yul,” pamit Agus. “Kalo lo BT, lo balik aja, takutnya gue enggak ada lagi waktu buat ngobrol.” 

“Enggak, gue mau liatin lo kerja.” 

Agus tersenyum, lebih terlihat seperti seringai. “Siap-siap bosen aja,” ucapnya sambil beranjak pergi. 

“Siap-siap liat cowok manis kerja,” ralat Yuli sambil tersenyum. 

Agus berbalik sekilas sambil mengerutkan keningnya, tapi bibirnya masih tersenyum. Lalu senyumannya berubah menjadi senyuman lebar. Ia kembali memperlihatkan giginya dan lesung pipinya. Terlihat sangat bahagia. Dan Yuli terlihat tergoda. Agus menggelengkan kepalanya, kemudian kembali berjalan, membantu karyawan lainnya. 

Dan Yuli duduk setia di tempatnya. Yuli sangat suka melihat Agus yang berjalan ke sana kemari, membersihkan ini itu, kadang dia berkeringat, tontonan yang lebih menarik dari drama musikal mana pun. Sampai berjam-jam. Saat makanan dan kopinya habis, ia kembali memesan. Yuli terus seperti itu sampai ia memutuskan untuk pulang. Saat matahari kembali ke peraduan. Dan Agus tak menyadari kepergian Yuli. Tapi ia tersenyum, walaupun Yuli tidak pamit kepadanya. Ia merasa menjadi sangat spesial saat di perhatikan seperti ini. 

*** 

Hari-hari terus berlalu. Yuli selalu setia, datang ke kafe tempat Agus membantu Mas-nya. Memandanginya saat bekerja adalah rutinitasnya sekarang—rutinitas yang aneh. Setidaknya selama liburan akhir tahun ini, ia tidak akan pergi ke mana-mana. Ia hanya ingin melihatnya saja.

Mas Lio menyadarinya, walaupun ia tidak begitu memperhatikan pelanggan yang datang ke kafenya, tapi gadis itu mencolok, apa lagi Agus selalu menghampirinya. Mas Lio ingin menanyakannya kepada Agus. Tapi belum sempat, saat ia ingat, Agus sedang sibuk bekerja. Kadang Agus sedang santai, dirinya sendiri yang sedang sibuk. 

Hari ini pun begitu. Ia sudah selesai bekerja, dan mengingat akan bertanya soal gadis itu kepada Agus. Agus memang sudah pulang lebih dulu, dan rencananya dia akan langsung bertanya kepadanya saat sampai di rumah nanti. Kenapa Agus bisa berteman dengan gadis itu? Bukankah Mas Lio pernah mengingatkannya tentang berpacaran? 

Mas Lio sampai di depan rumahnya. Ia memarkirkan mobil sedan keluaran tahun 80-an kesayangannya di depan rumah. Mas Lio keluar dari dalam mobil, lalu berjalan menuju rumah. Ia melihat motor Agus sudah ada. Itu artinya dia sudah pulang. Ya, adiknya itu memang bukan tipe remaja yang suka keluyuran. 

Assalamualaikum,” Mas Lio mengucapkan salam, sambil membuka pintu, dan menginjak sepatu bagian belakang untuk membukanya dengan cepat. 

Wa’alaikumusalam,” jawab sang istri dari arah dapur. 

Mas Lio buru-buru berjalan menuju ruang keluarga. Biasanya Agus berada di sana, sedang mengajak bermain anak Mas Lio yang masih berumur dua tahun. Dan benar saja, saat Mas Lio sampai di ruang keluarga, Agus ada di sana, bersama anak Mas Lio. Tapi sayangnya, mereka berdua sudah tertidur. terlihat sangat pulas. 

“Kamu udah pulang Mas?” tanya istrinya sambil mengelap-ngelap tangannya yang basah ke celemek yang ia kenakan. 

“Udah sayang,” jawab Mas Lio, lalu menatap dua orang yang sedang tertidur itu. Napas mereka teratur. 

Mbak Lia tersenyum. “Mereka kecapean kali, barusan udah main,” ucapnya. 

Mas Lio menatap istrinya sambil tersenyum. “Kamu pindahin Noval, kasian tidur di karpet.” 

“Iya Mas,” Mbak Lia mengangguk, ia membuka celemeknya, lalu ke dapur untuk menyimpannya. Kemudian kembali untuk memindahkan anaknya yang tertidur di samping kanan Agus. 

Setelah Mbak Lia membawa Noval ke lantai atas, Mas Lio mendekati Agus yang sedang tertidur. Ia menatap wajah adiknya. Tadinya ia ingin membangunkannya, untuk menanyakan sesuatu yang ingin ia tanyakan. Tapi sepertinya tidak jadi. Ia tidak tega membangunkan adiknya, lalu tiba-tiba menanyakan soal itu. Ia pasti lelah karena sudah membantunya di kafe. Lebih-lebih dia pun selalu membantu Mbak Lia untuk mengerjakan pekerjaan rumah ataupun membantu mengasuh Noval. Mas Lio sudah sering kali melarang Agus untuk membantunya di kafe, apa lagi dulu anak itu selalu membantu di kafe hampir setiap hari. Tapi, seberapa keras pun ia melarang, Agus selalu bersikukuh ingin membantunya. Alhasil Mas Lio memperbolehkannya, tapi hanya pada saat Agus libur sekolah saja. 

“Gus,” gumam Mas Lio sambil menggoyang-goyangkan badan Agus. “Bangun Gus, pindah ke kamar. Nanti badannya sakit-sakit.” 

“Gus.” 

Agus membuka matanya perlahan. Lalu bergumam tidak jelas. “Mas udah pulang?” tanyanya. 

Mas Lio mengangguk untuk menjawab pertanyaan Agus. “Cepet pindah ke kamar, nanti badan kamu sakit-sakit kalo tidur di situ.” 

“Iya Mas,” Agus beranjak, lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua sambil sesekali menutup mulutnya karena menguap. 

Mas Lio menatap kepergian Agus. “Mungkin nanti deh,” gumamnya, lalu ia duduk di sofa. Menyandarkan punggung dan kepalanya, kemudian menutup matanya. Ia sangat kelelahan. Anehnya, setiap hari rasanya rasa lelahnya selalu bertambah. Dan dadanya sedikit sakit. Mungkin ia terlalu keras bekerja.

“Mas?” tanya istrinya. 

“Ya?” Mas Lio langsung melirik istrinya yang duduk di sampingnya. 

“Kamu kayak lelah banget,” ucapnya. 

“Iya, aku lelah banget,” jawab Mas Lio, suaranya lesu. 

“Ayo mandi, terus tidur, jangan bergadang,” ujar Mbak Lia. 

Mas Lio tersenyum. “Iya sayang.” 

*** 

 

Seminggu sebelum kembali masuk ke sekolah. Yuli masih sering menemui Agus di kafenya. Walaupun jarang mengobrol dengannya, karena ia selalu sibuk, apalagi pengunjung kafe selalu banyak, tapi ia merasa senang. Tontonan—baginya. Seperti hari ini, Yuli datang dengan mengenakan sweater rajut berwarna putih gading, dan rok di atas lutut berwarna krem. Sangat cantik, seperti Putri salju. Ia sedang mengobrol bersama Agus. 

Mas Lio yang sedang berjalan pun, merasa di ingatkan saat melihat kejadian itu. Ia akan menghampiri mereka saat ia mendengar sebuah suara. 

“Lio!” sapa seseorang. 

Mas Lio berbalik dan menatap laki-laki itu. “Oi Desta, lo ngapain di sini?” tanyanya, kemudian mendekati laki-laki berkacamata yang menyapanya. 

“Mau mampir ke kafenya sahabat gue lah, gila rame banget,” ucap laki-laki bernama Desta itu. Mereka pun bersalaman—khas laki-laki, lalu berpelukan sambil menepuk-nepuk punggung. 

“Ya, Alhamdulillah, pas liburan sekolah gini, pengunjung naik seratus persen,” jawab Mas Lio. 

“Bisa traktiran dong nih,” kelakar Desta. Lalu ia terkekeh. 

“Ah bisa aja lo,” balas Mas Lio, ia pun ikut terkekeh. “Kalo di bolehin istri gue.” 

“Ce, elah,” Desta memutar matanya. “Eh iya, gimana kabar Lia sama anak lo.” 

“Sehat, sekarang anak gue udah bisa ngomong dikit-dikit,” jawab Mas Lio. “Lo kapan balik dari Singapura? Proyeknya luar negeri mulu, harusnya lo yang traktir gue.” 

Lihat selengkapnya