Dua hari kemudian, hari pertama sekolah di semester genap. Siswa dan siswi sudah fresh kembali ke sekolah. Hampir tiga minggu mereka menjalani liburan yang tidak berarti. Sekarang mereka akan kembali mengeluh dengan tugas-tugas dan PR sialan, memenuhi hari-hari mereka yang membosankan.
Agus datang ke sekolah. Tapi ada yang berbeda dari penampilannya. Tak ada lagi kotak plastik yang biasanya menghiasi ke dua lengannya.
“Dagangan lo mana?” tanya Oki sambil mengunyah roti bakar—sarapan paginya.
Agus tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. “Gue enggak di bolehin dagang lagi sama Mas Lio.”
Oki berhenti mengunyah, ia menatap nanar Agus. “Kenapa?”
Agus mengangkat kedua bahunya kemudian kembali menurunkannya. “Enggak tau, Mas Lio enggak mau liat gue dagang-dagang lagi.”
“Kenapa?” Oki mengulangi pertanyaannya.
“Ya gitu lah pokoknya,” jawab Agus.
Oki merangkulnya. “Yaudah, duit tabungan lo udah banyak kan? Cukup lah buat biaya kos, makan, sama kuliah selama....” kata-katanya langsung terhenti. “Pagi yayang Okta,” sapanya kepada seorang gadis yang melintas di hadapannya, sambil tersenyum manis.
“Nih, ngomong sama tangan gue,” ucap Okta sinis, dengan menampilkan telapak tangan kanannya kepada Oki.
“Wah, telapak tangan yayang Okta cantik,” mata Oki berbinar, ia sudah melepaskan rangkulan tangannya dari Agus.
“Gila!” umpat Okta.
“Enggak papa, sekarang yayang Oki ngomong sama telapak tangan Okta.”
Okta memutar matanya.
“Asalkan nanti bisa ngobrol sama Yayang Okta,” sambil tersenyum manis.
Okta menunjukkan wajah mualnya, bahkan hampir mirip seperti sedang muntah. Kemudian ia berjalan menjauhi ke dua laki-laki itu.
“Yayang Okta, tunggu yayang Oki,” Oki berteriak, berlari mengejar Putri impiannya.
Agus menggelengkan kepalanya. Hiburan pagi hari.
Tak lama, the most wanted SMA datang menghampiri Agus. “Dagangan lo mana Gus?” tanyanya dengan suara tenor yang khas. Siapa lagi jika bukan Baskara Arthur Putra Prasetya.
“Gue enggak dagang lagi Bas,” jawab Agus sambil tersenyum.
Baskara mengernyit. “Kenapa?”
“Enggak di bolehin lagi sama Mas Lio," Agus kembali menjelaskan.
Baskara semakin mengernyit. Seharusnya Agus itu terlihat sedih, bukan menjawab pertanyaan Baskara dengan senyuman seperti ini. “Tapi kok lo malah senyum-senyum?”
“Terus gue musti gimana Bas?” tanya Agus. “Nangis kejer-kejer? Mas Lio enggak bakalan luluh.”
Baskara tersenyum, lalu merangkul Agus. Ia tahu, sebenarnya Agus sedih. Ia dagang dari SMP karena tidak mau menyusahkan Mas Lio saat kuliah nanti. Padahal Agus cukup pintar, bahkan mungkin lebih pintar dari Baskara. Memang, peringkat mereka tidak terlalu jauh. Tapi sebenarnya perolehan nilai raport mereka sangat jauh. Perolehan nilai raport Agus hanya berbeda lima angka dengan Desti yang mendapat peringkat pertama. Sedangkan perolehan nilai Baskara berbeda puluhan angka dengan Agus.
“Gue bawain oleh-oleh dari Portugal,” ucap Baskara sambil tersenyum. “Lo pasti suka. Ada di mobil gue, nanti pulangnya lo ambil ya."
Agus mengangguk, seraya tersenyum menampilkan lesung pipinya ke arah Baskara. Percuma jika Agus menolak, laki-laki tampan di hadapannya keras kepala. “Thanks Bas.”
“No problem,” Baskara membalas senyuman cowok yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP itu.
“Gue enggak dapet?” tanya Oki, ia baru saja kembali dari mengejar Putri Impiannya, tapi tidak terkejar.
“Enggak,” balas Baskara singkat.
“Lo mah Gitu Bas,” Oki meringis.
Agus tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Bukanya lo lagi ngejar yayang Okta lo?”
“Kayaknya dia bakal jadi saingan lo deh Gus,” jawab Oki. “Larinya kenceng banget, gila.”
Agus terkekeh.
“Lari dia yang cepet, atau lari lo yang lambat kayak siput,” ucap Baskara.
“Please Bas, lo bawain gue oleh-oleh kan dari UK?” Oki kembali menanyakan oleh-oleh untuknya.
“Enggak,” jawab Baskara, berbohong. Cowok tampan itu tidak mungkin tidak memberikan sahabatnya oleh-oleh.
“Lo gitu ya sekarang,” Oki merengek.
“Biarin,” pungkas Baskara.
Agus kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sahabat-sahabatnya memang mood booster saat ia sedang sedih.
“Pagi Gus,” tiba-tiba seorang gadis menyapanya.
Agus tersenyum. “Pagi Yul.”
Lalu Yuli berjalan menjauhi tiga cowok itu.
“Lo lagi marahan sama Yuli?” tanya Baskara.
“Kok enggak ada bincang-bincang pagi sama dia?” sekarang Oki yang bertanya.
“Emang acara Morning Show?” balas Agus. “Udah ah, yuk ke kelas,,” Agus berjalan meninggalkan dua sahabatnya yang sedang menatapnya nanar.
“Sahabat lo kenapa Bas?” tanya Oki setelah Agus berjalan menjauhinya.
Baskara mengangkat bahunya, kemudian menurunkannya lagi.
“Kayaknya dia udah sadar, kalo itu cewek rubah licik.”
Baskara berjalan meninggalkan Oki, mengikuti Agus yang sudah puluhan langkah di depan sana.
“Yeh, semuanya aja ninggalin gue,” gumam Oki.
***
Saat jam istirahat, Yuli tidak ke kantin. Ia ingin menghindari Agus. Ia tidak mau terlihat canggung. Seperti tadi pagi, suasana sangat canggung kala dia menyapanya. Dan Yuli tidak mau seperti itu lagi. Kursi penonton di stadion sepak bola kosong hari ini. Yuli memilih duduk di sini untuk menyendiri. Ia tidak lapar. Hanya saja Yuli sedang haus, jadi ia meminta Marri untuk membelikannya jus jeruk di kantin. Marri tidak banyak berbicara, ia tahu hati Yuli sedang tidak sehat. Senang rasanya memiliki sahabat yang peka.
Yuli menatap lapangan sepak bola. Sebenarnya sedang melamun. Ia melamunkan kelakuannya selama ini. Ternyata ia telah membuang-buang waktu. Ia menghabiskan uang dengan percuma. Hidupnya hanya penuh dengan popularitas, pujian, gosip, terkenal, dikenal, dibenci, disukai, tapi apa yang ia dapatkan dari semua itu? Tidak ada.
Yuli menundukkan kepalanya. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingnya. Yuli menatap cowok tersebut. Cowok tampan itu menggenggam tangan kanan Yuli dengan tangan kirinya. Memasukkan jari-jari tangannya yang besar ke sela-sela jari tangan Yuli yang panjang dan ramping. Yuli menatap wajahnya. Cowok itu sedang tersenyum. Yuli menatap ke arah depan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu kiri cowok itu. Dan cowok itu menempelkan bibirnya di puncak kepala Yuli—mengecupnya. Kemudian ia menempelkan pipinya di sana.
“Hell, yeah,” umpat Marri saat melihat kejadian romantis tersebut.
Yuli tidak berbalik, ia sudah tahu itu Marri.
“Gue cuman mau nganterin pesenan Yuli doang,” Marri menyimpan minum pesanan Yuli di kursi sampingnya. "Enggak usah liat gue, anggap aja gue enggak ada."
“Gue seneng kalian balikan lagi,” ucap Marri setelah menyimpan minuman pesanan Yuli. “Selamat kembali pacaran, tapi jangan terlalu bersenang-senang, mata gue liat lo Rio,” lanjut Marri sambil menyepertikan sedang menusuk matanya dengan jari telunjuk dan jari tengah, lalu menusukkan jari-jari kepada Rio.
“Gue enggak mungkin macem-macem Mar, gue sayang sama Yuli,” balas Rio sambil terkekeh.
“Oke, gue percaya,” jawab Marri. “Kalo gitu, gue pergi dulu.”
Marri kembali berbalik setelah ia berjalan tiga langkah. “Kalo kalian nyari gue, gue di UKS, mau liat foto bugilnya Theo James.”
Yuli terkekeh, begitu juga dengan Rio. Mereka berdua menggelengkan kepala mendengar pengakuan Marri.
“Bye,” pamit Marri, lalu kembali melangkahkan kakinya.
Sekarang waktunya Yuli berbicara hati ke hati bersama Rio. “Maafin aku, karena udah nyia-nyiain kamu, udah bohongin kamu, aku bener-bener minta maaf. Aku enggak pantes dapetin cowok sebaik kamu.”
Rio menggelengkan kepalanya. “Aku yang minta maaf, karena enggak bisa nyadarin kamu. Aku enggak kayak Agus, yang bisa buka mata hati kamu akan banyak hal.”
Dagu Yuli bergetar. Kenapa ia bisa di sayangi orang sebaik Rio? Ia harusnya bersyukur. Yuli menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Maafin aku,” kemudian ia terisak hebat.
“Keluarin apa yang mau kamu keluarin,” ucap Rio, memeluk Yuli lebih erat.
Yuli menangis di pelukannya. Laki-laki yang ia sayangi, dan ia cintai. Yuli sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat beruntung mendapatkan cowok bucin seperti Rio.
***
Tak terasa, sudah tiga bulan Agus dan Yuli tak lagi terlihat bersama. Banyak siswa dan siswi yang berspekulasi tentang hubungan mereka yang berakhir. Dan spekulasi baru hadir; Yuli kembali ke pelukan Rio. Yuli tak lagi memikirkan penggemar, sorotan, popularitas, atau bahkan mengemis-ngemis dijadikan sebagai cover majalah sekolah bulanan. Sekarang Yuli tidak memikirkan semua itu. Yang penting sekarang adalah, ia bahagia.
Jika Yuli berubah, bagaimana dengan Agus?
Agus tetap seperti biasanya. Pintar, rajin, murah senyum, baik hati, tak terganggu oleh apa pun. Ia fokus menjalani hari-harinya yang disibukkan dengan kegiatan ujian praktek, ujian sekolah, dan persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Semua kembali lagi ke dasar. Karena itu awalnya.
Malam ini, Agus tiba-tiba haus saat terbangun dari tidurnya. Stok air yang biasanya ia siapkan di kamar sudah habis, ia harus mengambilnya ke dapur. Jam menunjukkan pukul 00:15 malam. Agus berjalan keluar dari kamarnya. Langkahnya terhenti saat telinganya mendengar suara seseorang sedang mengobrol.
“Maksud kamu?” itu mirip suara Mbak Lia dari dalam kamarnya.
Agus ingin sekali menguping apa yang mereka bicarakan. Tapi ia masih memiliki hati nurani, jadi lebih baik ia tak usah mendengarkan privasi seseorang.
“Aku pikir, mungkin dulu itu harusnya aku nitipin Agus ke panti asuhan aja.”
Langkah kakinya kembali terhenti saat ia mendengar suara kakak laki-lakinya. Dan entah dari mana datangnya, dada Agus terasa sesak. Matanya perih.
“Kok kamu ngomong kayak gitu?” terdengar suara Mbak Lia kembali berbicara.
Ada jeda tiga puluh detik sebelum Mas Lio kembali berbicara. “Ya, mungkin Agus bisa lebih bahagia kalau dia tinggal di panti, dari pada tinggal bareng kita.”