Hari Selasa dan Kamis, hari wajib untuk siswa kelas XII datang ke sekolah setelah menjalani UN dua Minggu yang lalu. Seorang gadis cantik mencari-cari seseorang di sekolah, sudah seminggu ia tidak melihat anak laki-laki itu. Tapi ia bingung harus mencarinya ke mana. Ia tidak ada di taman tempat mereka selalu memandangi langit. Tempatnya bekerjanya tutup sampai waktu yang tak ditentukan. Gadis itu tidak tahu alamat rumahnya, dan ia terlalu gengsi untuk bertanya kepada dua sahabatnya.
“Kamu kayak lagi nyari seseorang, nyari siapa?” tanya seseorang yang berjalan di sampingnya.
“Hm?" Yuli agak terkejut dengan suara Rio yang tiba-tiba. “Enggak, aku enggak nyari siapa-siapa.”
“Hm,” mata Rio menyipit. “Kamu bohong, lagi nyari Agus ya?”
“Enggak, aku enggak lagi nyari siapa-siapa,” bohong Yuli.
“Kamu enggak bisa bohong sama aku.”
“Aku enggak bohong sayang,” Yuli mencoba meyakinkan pacarnya.
“Aku enggak percaya,” Rio menyisir sekitar. “Oi!” ia berteriak saat matanya menemukan seseorang.
Laki-laki berwajah tampan berbalik menatap Rio, ia berjarak belasan meter darinya.
“Sayang apa-apaan sih,” ucap Yuli sambil mencubit-cubit perut Rio.
Rio tidak memedulikan Yuli yang sedang mencubit-cubitnya. Ia malah menyuruh seseorang yang menatapnya untuk mendekat. “Sini,” serunya sambil melambaikan tangan.
Kini laki-laki tampan yang menatap Rio menukikkan alisnya yang tebal dan sempurna, matanya yang hazel memancarkan rasa penasaran. Ia berjalan dengan gitar yang menghiasi bahunya, dan headphone putih bertuliskan SONY yang selalu menggantung di lehernya.
Saat laki-laki tampan nan tinggi itu sampai, ia menatap Rio dan Yuli silih berganti. “Ngapain lo manggil-manggil gue, mau ngajak berantem lagi? Gue enggak minat,” ucapnya ketus, lalu memalingkan pandangannya.
“Jangan negatif thinking dong Bas,” ujar Rio, dengan ramah. “Lo liat Agus enggak?”
Sekarang Baskara menatap Rio sambil mengangkat sebelah alisnya. “Ngapain lo nyari Agus? Mau ngajak dia berantem juga?”
“Lo sentimen banget sih Bas, gue cuman nanya, pacar gue nyariin dia.”
Dengan kikuk, Yuli tersenyum ke arah Baskara—jarang-jarang rubah itu tersenyum tulus—oh iya lupa, sekarang ia sudah berubah menjadi kelinci.
Baskara menatap Yuli sinis, lalu kembali memalingkan wajahnya. “Enggak tau, lagi daftar ke UGM Yogyakarta kali.”
“Oh,” Yuli menganggukkan kepalanya. “Kita ke kantin yuk sayang, makasih infonya Baskara,” lalu Yuli menarik lengan Rio.
“Thanks Bas,” ucap Rio sambil menepuk pundak Baskara, lalu pergi bersama Yuli.
Baskara menggelengkan kepalanya. “Enggak jelas.”
“Babas, si Nina nyariin lo!! Katanya latihan nyanyi buat Prom!!” teriak Oki yang sedang membuntuti Yayangnya untuk di ajak ke Pesta Prom dua Minggu lagi.
“Udah di tolak, masih aja di kejar,” gumam Baskara. Lalu ia tersadar, setidaknya Oki berusaha, tidak seperti dirinya, yang bahkan sangat pengecut mengungkapkan perasaan kepada satu perempuan.
***
Ruang rawat inap berwarna biru muda. Tercium aroma obat-obatan khas rumah sakit. Laki-laki berjanggut dan berambut jabrik yang sedang tertidur mengerjakan matanya beberapa kali. Ia menatap lampu ruangan berwarna putih yang terang, lalu mengedarkan pandangannya. Ada seorang wanita cantik yang sedang tersenyum ke arahnya—senyuman bahagia, sekaligus sedih—bagian bawah matanya agak menghitam.
“Sayang,” gumam laki-laki itu.
“Iya sayang,” jawab wanita tersebut.
Laki-laki itu kembali mengedarkan pandangannya, dan mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. “Aku kenapa?”
“Jantung kamu rusak,” jawab wanita yang tidak lain adalah istrinya sendiri. “Dan sekarang kamu udah punya jantung yang baru. Yang lebih baik. Gimana perasaan kamu?”
Laki-laki yang sedang berbaring itu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya. “Terasa enak.”
Wanita itu tersenyum lebar.
“Mana Noval?” ia bertanya anaknya.
“Tenang aja, dia lagi sama Kakek dan Neneknya.”
Lengang.
“Udah berapa lama aku di sini?”
“Dari semenjak kamu pingsan?”
Laki-laki itu mengangguk.
“Sekitar seminggu.”
Laki-laki itu kembali bergeming. “Dan kafe?”
“Di tutup sementara.”
Ia mengingat seseorang. “Agus mana?”
Mbak Lia mengalihkan pandangan dari arah suaminya. Matanya terpejam, menahan sebuah emosi yang ingin meluap dari dasar hatinya.
“Sayang?” Mas Lio penasaran.
Mbak Lia kembali menatap suaminya, ia tersenyum, tapi matanya menunjukkan sesuatu yang lain. “Agus baik-baik aja.”
“Kapan aku bisa pulang?” tanya Mas Lio antusias. “Aku enggak sabar ketemu sama Noval, dan mau ngomongin soal kuliahnya Agus.”
Mbak Lia tersenyum, tapi terlihat sebuah kegetiran di wajahnya. “Mungkin beberapa hari lagi, Dokter masih butuh beberapa tes tentang jantung baru kamu. Takutnya ada penolakan dari tubuh kamu, atau ada infeksi, tapi semoga aja enggak ada.”
Mas Lio menganggukkan kepalanya. Lalu ia menyadari sesuatu. “Bukannya transplantasi jantung itu mahal? Berapa biaya yang harus kita bayar?”
Mbak Lia tersenyum, dan terlihat sesuatu terpancar dari matanya. “Tenang aja Mas, ada malaikat yang nolong kita, dia baik banget, mau ngasih jantungnya buat kamu.”
Mas Lio mengernyit. “Siapa?”
“Dia ngasih kamu surat, tapi mending kamu baca nanti, pas kita udah di rumah.”
“Oke.”
Kembali lengang.
Mbak Lia senang, karena suaminya tidak bertanya lebih lanjut tentang seseorang yang mendonorkan jantungnya.
“Apa Agus ada di sini? Aku mau ketemu dia,” ucap Mas Lio, senyuman terpatri di wajahnya.
Ini tidak mudah bagi Mbak Lia.
***
Tiga hari kemudian, Mas Lio sudah di perbolehkan untuk pulang. Ternyata jantung barunya sangat cocok bagi Mas Lio, sama sekali tidak ada penolakan dari tubuhnya. Tapi ia masih harus tetap wajib menjaga kesehatannya. Tidak boleh lagi merokok—aktif maupun pasif, olahraga teratur—minimal dua kali seminggu dan tidak lebih dari satu jam, makan makanan yang bergizi, dan harus meminum obat khusus seumur hidupnya.
Saat memasuki rumah, Mas Lio agak kebingungan, karena istrinya membuka kunci pintu. Bukankah seharusnya ada Agus di dalam rumah? Ia tidak menjemputnya dari rumah sakit. Bahkan saat Mas Lio sudah sadar pun ia tidak pernah datang. Ke mana anak itu? Pikir Mas Lio.
“Agus mana?” akhirnya ia menanyakan hal yang ingin ia tanyakan kepada Mbak Lia.
Mbak Lia mengembuskan napas, sangat panjang, mungkin ini sudah saatnya. “Kita ke kamar dulu yuk Mas, baca surat dari malaikat yang udah donorin jantung buat kamu.”
Mas Lio agak kebingungan, kenapa istrinya mengalihkan pembicaraan? Tapi ia tidak mau repot-repot bertanya, lebih baik ia mengikuti saja ajakannya.
Mereka berdua pun sudah berada di kamar mereka. Mas Lio duduk di pinggir kasur, sedangkan Mbak Lia mengambil sesuatu di laci nakas. Ia mengeluarkan sebuah amplop putih, lalu menyerahkan amplop tersebut kepada Mas Lio. Di atasnya tertulis sebuah kata-kata.
Untuk Mas Lio.
Kalo suratnya udah rusak, berarti udah ada yang baca.
Mas Lio mengerutkan dahinya. Ia mengenali tulisan tangan itu. Dan tunggu dulu, kenapa si malaikat menyebutnya dengan iming-iming kata 'Mas'?
Mas Lio menatap istrinya dengan pandangan penuh akan pertanyaan. Dan Mbak Lia membalasnya dengan senyuman.
Laki-laki jabrik itu pun merobek amplop putih tersebut, dan mengambil secarik kertas di dalamnya. Mata Mas Lio terbelalak.
Assalamualaikum Mas Lio,
Mas pasti udah bangun, Agus seneng Mas udah sehat lagi, dan Agus mau minta maaf atas kesalahan Agus selama ini. Jangan nanya-nanya kenapa Agus nulis surat ini, kenapa Agus minta maaf ke Mas, dan kenapa Agus enggak ada di samping Mas saat ini. Mas enggak usah nebak, Mas pasti udah tau.
Dari kecil, Agus enggak pernah benci Mas. Sedikit pun enggak pernah. Walaupun Mas bukan Kakak yang menyenangkan, tapi Agus senang punya Mas. Kita enggak pernah banyak ngobrol, kita enggak pernah ngabisin waktu bareng. Agus ngerti, Mas bukan tipe orang yang kayak gitu.
Seumur Agus hidup, cuma satu cita-cita Agus. Yaitu mau bahagiain, banggain, Bapak sama Ibu. Tapi tiba-tiba Bapak sama Ibu meninggal, dan Agus enggak tau apa yang harus Agus lakuin. Agus ngerasa hidup Agus kehilangan tujuan. Agus enggak tau apa yang Agus lakuin, Agus cuma ngejalaninnya. Mengalir kayak air sungai. Sampai Agus pernah nanya pada diri Agus sendiri, kenapa Agus di lahirkan? Dan apa tujuan Agus hidup?
Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu enggak penting kan Mas? Dan enggak perlu di katakan, apa lagi di jawab, iya kan Mas?
Orang-orang pernah bilang: “Manusia akan tau tujuan hidupnya saat ia berada di ambang kematian.”
Dan sekarang Agus ngerti apa tujuan Agus hidup. Yaitu buat ngasih Mas jantung Agus. Biar Agus bisa cepet-cepet ketemu Bapak sama Ibu lagi.
Agus mohon sama Mas, Mas jangan marah sama Agus karena udah ninggalin Mas. Karena udah ngelakuin ini ke Mas. Dan Mas jangan nyusul Agus cepet-cepet. Masih ada banyak orang yang butuh Mas. Ada Mbak Lia, Noval, karyawan-karyawan Mas di Kafe. Semuanya masih membutuhkan Mas.