Tumbuh Dari Hati

Hendrini Esvi W
Chapter #2

Awal Suatu Takdir

Buliran keringat menjadikan setiap jengkal tubuhnya terasa lengket pada waktu sepagi ini di antara hembusan angin yang harusnya membuat napas terasa segar. Ini bukan kelas olahraga hanya saja kalori yang terbakar saat harus sampai di dekat kelas beberapa saat sebelum guru memulai proses belajar mengajar.

Degub jantung terpacu melebihi rata-rata. Napas kasar terengal-sengal belum cukup untuk menjadikan tubuh merasa rileks. Jihan mengipas-ngipas badannya dengan menggerak-gerakan sisa kelonggaran baju seragamnya.

Bunyi udara kasar menerobos lubang hidungnya sendiri, pengusik telinga yang dapat didengarnya dengan jelas. Beberapa kali telapak tangannya sibuk membernarkan tatanan poni lemparnya yang sama sekali tidak bermasalah. Bukan itu yang Jihan maksutkan, Ia hanya menutupi mulutnya yang menganga terengah-engah.

Sibuk boleh, tetapi penampilan harus selalu "Oke". Motto Jihan yang tetap tidak berubah sekalipun banyak hal yang memudar darinya. Hari ini saja Ia sibuk berlari menerobos grombolan yang sibuk mengerumuni mading sekolah. Tetapi mulutnya tiada henti meniup-niup ke arah atas bagian wajahnya untuk menjaga bentuk yang Ia siapkan sedari rumah.

" Cetar... " gemrincing kaca terbentur lantai memaksa Jihan mengurangi kecepatan berlarinya. Sebagian besar kerumunan di depan mading mendekati sumber suara itu, beberapa yang tengah sibuk mondar-mandir ikut menghentikan langkahnya, juga anak dari teras ruangan sebelah yang ikut menaruh perhatian .

"Astaga, Jihaaan... " Seru Silvi berkacak pinggang seraya alisnya tampak beradu. Tangannya sibuk memunguti kepingan besar pecahan kaca tempat bedak yang menjadi barang wajib anak itu. Tidak peduli serbuk putih yang membuat bajunya coreng-moreng, alih-alih telapak tangan yang mendadak berwarna putih.

"Iya, Maaf buru-buru, " ucap Jihan seraya menampilkan lengsung pipinya. Merayu Silvi teman super glamournya itu seperti hari-hari biasanya, "Lagian kamu sudah cantik kok, Sil. Enggak ngacapun juga tetap aja, 'kan? Namanya juga orang cantik."

"Ah, nggak bisa gitu lah, Han. Ini bedak mahal, baru kemarin dibeliin tante Aku yang kerja di Jakarta. Pokonya kamu harus ganti yang baru. " Hardik Silvi dengan kerutan dahi yang lebih jelas lekukannya. 

"Udah bagus minta maaf. Gitu aja berisik! Berapa sih harganya, bedak kayak gini aja dibikin ribut."

"Baca aja merknya , nanti juga tahu sendiri." Ujar Silvi sembari menampakkan brand kosmetik kawakan milik alumni Institut Teknologi Bandung. Wajahnya terlihat bertambah angkuh tatkala gadis yang tingginya sejajar punggung Jihan membalikkan badan dan membuang pandangan meninggalkan Jihan yang masih ditatap berpasang-pasang mata.

❤️❤️❤️

"Ya Ampun... Han kamu telat lagi? " Sambut Salsa mendapati kehadiran Jihan tegopoh-gopoh. Kedua tangannya kerepotan menenteng helm dan jaket yang lengan sebelah kanannya berbalur tumpahan bedak Silvi.

"Seperti yang Kau lihat saat ini, " reaksi Jihan mencebikkan bibir seraya mengangkat kedua tangan beserta antek-anteknya.

"Sekarang kok 'tiap hari kamu terlambat? "Tanya Fatim dengan tingkatan bahasa tersopan .

Jihan mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya yang satu ini. Teman yang ini tidak bisa disamakan dengan yang lain. Bagi Jihan ada perasaan yang harus di jaga dari seorang yang dianggapnya seperti kakak sendiri. Selain karena usianya yang dua tahun lebih tua dari Jihan.

Lihat selengkapnya