Pendaran cahaya matahari yang terus bergerak menuju batas cakrawala kini masuk melalui celah-celah ventilasi yang teramat sempit di sudut ruangan. Menimpa wajah ayu bulat bertulang pipi tinggi. Meskipun berambut gelap dan berkulit cokelat terang, siapa pun akan bisa segera mengenalinya sebagai gadis blasteran karena hidung yang tirus runcing dan garis dagunya yang tajam.
Hangatnya pancaran mentari yang merayap ke ruang pengap itu menerbangkan sebagian aroma lembap ke penciumannya. Gadis itu perlahan tersadar. Manik bola mata cokelatnya segera mengintip dari balik kelopak yang sedari tadi tertutup. Reflek suara rintihan keluar dari sudut bibir berhiaskan lelehan darah yang mulai mengering.
Tubuhnya tak berdaya lagi bergerak. Bukan saja karena seutas tali yang mengikat kaki dan tangan di sandaran kursi kayu jati, tetapi serentetan hantaman di sekujur tubuh beberapa saat lalu hanya menyisakan secuil energi untuk menahan perih.
Sesosok pria muda bertubuh tinggi kekar tepat duduk di hadapan gadis itu dengan senyum sinis. Sepasang mata elangnya seolah hendak meluluhlantakkan makhluk rapuh di hadapannya tanpa ampun. Dia terus saja mengunci penglihatannya ke arah sang gadis, menikmati setiap detail penderitaan yang terekam netranya.
Sang gadis mendongak perlahan dan menatap tajam ke arah pria itu. Menyadari sinar penuh nafsu amarah yang dihujamkan padanya, si pria balas menusukkan pandangan lalu menyeringai dan bergumam, “Nola, Nola, Nola … Lo masih aja percaya sama rayuan pulau kelapa negeri ini?”
Pria itu bangkit dengan santai lalu berbalik menuju sebuah gramofon sambil berceloteh, “Baiklah, Pemirsa. Kini kita akan mendengarkan sebuah lagu khusus untuk nona Nola Andrea Wijaya yang berjudul ‘Rayuan Pulau Kelapa’. Selamat menikmati!”
Dengan gesit, pria itu memasang piringan hitam bertuliskan “Simfoni Negeriku” yang baru dibeli sang gadis. Mengalunlah intro syahdu dari lagu gubahan Ismail Marzuki itu. Si pria segera bersikap tegap dan mengambil pisau di sebelah gramofon. Dia kembali menuju sang gadis dan menggunakan pisau itu sebagai pelengkap aksinya meliuk-liuk menirukan gaya seorang konduktor orkestra.
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia …