Tumpah Darah

Bisma Lucky Narendra
Chapter #2

Home Bitter Home

Mercedes-Benz VV140 hitam mengkilat yang dikemudikan sopir meluncur mengantar Nola pulang. Roman muka gadis berseragam SMU itu tak seceria warna-warni cat semprot yang menghiasi baju putihnya. Puluhan pesan perpisahan dan tanda tangan pun tergores di sana.

Sudah sebulan berlalu. Semua orang berusaha bersikap normal. Namun, pemandangan di jalanan sulit untuk tidak menularkan ketegangan. Kehadiran aparat keamanan yang lebih aktif berpatroli, ketatnya penjagaan di area umum, pemasangan CCTV, pemeriksaan identitas pengunjung, penjagaan pintu masuk, dan peningkatan kehadiran petugas keamanan di komplek perumahan elit. Nola hanya bisa berharap agar semua penjagaan itu segera menurun level kesiagaannya, tidak malah meningkat menjadi Siaga Empat. 

Setidaknya, tetap ada yang patut disyukuri dari segala usaha menjaga keamanan pasca tragedi Mei lalu. Perbaikan jalan, peningkatan penerangan , dan pemulihan fasilitas publik yang terdampak membuat aktivitas keseharian masyarakat terasa lebih mudah.

Tadinya, Nola sempat mencemaskan soal infrastruktur ini saat harus pindah ke rumah Mama. Pemerintah menyita rumah Papa yang termegah di Kemang karena terbukti merupakan hasil korupsi. Papa sudah tidak bisa lagi melenggang seenaknya menerima gratifikasi sebagai politikus papan atas.

Rumah putih gading menjulang berlantai tiga itu mulai terlihat. Atap genting keramik hijaunya terkesan teduh dan klasik. Fasad dari batu alam berwarna senada dinding ditopang oleh kolom-kolom penuh ukiran.

Sebenarnya, Nola suka dengan rumah Mama. Sangat indah, seolah setiap sudutnya diukir penuh cinta. Itu benar adanya. Nonno dan Nonna, kedua orang tua Mama, membangunnya khusus untuk putri tunggalnya itu. 

Bisnis perhotelan yang dirintis kedua orang tua Mama sejak tahun 1950-an terus berkembang pesat dan menghasilkan harta melimpah. Itu sebabnya, kakek-nenek Nola bersedia menjadi WNI tanpa ragu. Kini, harta itu pula yang menjadi bahtera Nuh bagi keluarga mereka meskipun situasi negeri ini belum kondusif untuk bisnis warisan tersebut.

Segala bentuk cinta seolah ditumpahkan semua dalam desain rumah itu, lebih indah dari hotel mana pun yang pernah dibangun kakek-nenek Nola. Guna membunuh sepi di hati, tak bosan-bosan Nola mengamati desain rumit pagar tempat tinggalnya yang sedang dilintasi. 

Pondasinya menggunakan batu alam yang tertata rapi dan terekspos begitu saja, memberikan tampilan kuat dan kokoh. Bagian atasnya berhiaskan tanaman rambat. Di malam hari, lampu penerangan LED yang menyorot akan menghasilkan kesan tropis modern yang menyegarkan. Batu alam juga digunakan untuk pilar yang dihiasi ukiran dedaunan. Pagarnya memakai elemen besi cor ditempa menjadi ornamen geometris yang klasik. 

Mobil Nola melewati portal gerbang dari batu bata. Pintu ganda dari logam yang penuh dengan pahatan berbentuk bunga itu terbuka otomatis menggunakan mikrokontroler yang dikendalikan sopir. 

Bentangan taman indah dengan pohon-pohon rindang, semak-semak, bunga-bunga, dengan air mancur di tengahnya segera menyambut. Roda mobil terus menggelinding di atas jalur berbatu hingga tepat berhenti di depan garasi.

Ayunan langkah Nola yang ringan sedikit pegal terhenti saat melewati kamar tidur Mama. Nola melihat perempuan yang mewariskan mata, hidung, dan dagu yang sama padanya itu sedang membenamkan wajah di meja rias. Tanpa berpikir panjang, Nola menghampiri. Jarak di antara mereka yang semakin terpangkas membuat Nola dapat mendengar sayup-sayup suara tangis tertahan dari sang mama.

Lihat selengkapnya