Ini hari pertama Nola masuk dunia perkuliahan. Menjadi mahasiswa kampus di Indonesia merupakan cita-citanya semenjak masih berseragam putih abu-abu, bukan universitas luar negeri mana pun yang direkomendasikan kedua orang tuanya.
Nola begitu bersemangat pagi ini. Aksesori Ospek menghias dari kepala sampai kaki; caping gunung, wajah bercat perak, rumbai tali rafia yang mengikat pinggang, dan sepasang gelang gemerincing yang melekat di kaki lengkap dengan sebatang tongkat di tangan.
Dari dulu, gadis belia itu merasa kostum saat masuk perguruan tinggi di negeri ini seru sekali. Alangkah asyiknya mengawali studi dengan penampilan kreatif begini. Dandanan yang sebelumnya hanya bisa dilihat Nola melalu kaca gelap mobil setiap awal tahun ajaran baru. Tak pernah sekali pun sekolah internasional tempatnya belajar mengadakan acara kostum seorisinal ini. Biasanya, kostum yang beredar di pesta Halloween hanyalah karakter-karakter yang berasal dari negeri Barat.
"Kalau ada yang ganggu, langsung lapor Papa, ya?" pesan Papa yang sedang duduk di teras sambil sedikit menurunkan koran yang membentang di hadapan.
"Iya. Papa enggak usah terlalu khawatir. Nola bisa jaga diri, kok," jawab Nola dengan senyum kecut.
"Nola, Papa enggak akan biarkan seorang pun menyakiti atau mengolok-olok kamu. Jangan tutupi hal sekecil apa pun dari Papa. Okay?" tukas Papa serius.
"Iya, Pa. Nola pamit dulu, ya," kata Nola sambil mencium punggung tangan kanan Papa.
Nola merasa miris. Papa benar. Beliau memang tidak pernah sekali pun berkata atau berlaku kasar kepada Nola. Namun, mengapa Papa tak bisa bersikap yang sama manisnya kepada Mama? Papa begitu ringan tangan jika berbicara dengan perempuan tercantik di rumah ini.
***
Di trotoar dekat jalan masuk kampus, tampak beberapa senior dengan jas almamater mencegat kendaraan. Mereka menjelaskan dengan sopan bahwa para mahasiswa baru hanya boleh di antar sampai situ.
Dengan ringan, Nola turun dari mobil dan mengalungkan papan nama hingga menjuntai memenuhi dada. Sambil mengayun tongkat pelan tetapi pasti, Nola bergabung dengan teman-teman sebaya yang berpakaian putih hitam itu.
Mereka pun berjalan kaki beriringan sambil berkenalan. Nola bahagia sekali karena harapan di hari pertamanya langsung terkabul, yaitu mendapat teman baru. Tak ada satu pun dari kawan-kawan di SMU dulu memilih jurusan di kampus yang sama dengan Nola. Gamang rasanya jika harus menghadapi dunia perkuliahan seorang diri.
Anehnya, sebagian di antara mahasiswa baru itu tampak takut-takut mengajak agar segera berkumpul di halaman kampus. Karena tidak menyangka harus berjalan kaki jauh, Nola pun ikut-ikutan berlari kecil bersama yang lain agar tak terlambat.
Jarak seratusan meter dari halaman kampus jurusan pertama yang mereka temui, sudah terdengar suasana yang terjadi di sana. Aneka teriakan bertalu-talu membuat serombongan mahasiswa baru itu panik. Beberapa senior datang menghampiri dan menghardik mereka.
“Kalian kura-kura atau penyu, sih?”
“Jalannya dipercepat, Dik!”
“Lari! Lari! Lari!”
Beberapa mahasiswa baru yang bertuliskan FISIP di papan dada segera memacu ayunan kaki sekencang mungkin. Nola saling melirik dengan sesama jurusan Sastra Inggris yang baru dikenalnya tadi, Alena Dewi Hartono. Melihat salah satu senior FISIP bergerak mendekati mereka dengan isyarat mengusir, keduanya pun langsung lari tunggang-langgang.
Halaman kampus jurusan Sastra Inggris menyuguhkan pemandangan yang mirip dengan yang tersaji di jurusan sebelumnya. Nola tak habis pikir dengan cara perayaan semacam ini. Apa iya, kampus di Indonesia melegalkan perundungan?