Apa arti dari sebuah hancurnya keluarga? Apa yang bisa di dapat dari putusnya sebuah ikatan? Kata orang, itu adalah pembelajaran bagi orang lain yang akan berumah tangga, yang akan memiliki anak, mendidik anak, hingga pembelajaran untuk keturunan nya nanti. Lalu apa yang bisa didapat bagi orang-orang yang telah hancur? Hubungan sia-sia macam apa yang telah mereka jalin? Menikah hanya untuk bercerai, menikah hanya untuk membahas masalah ekonomi, menikah hanya untuk memperdebatkan anak yang telah mereka ciptakan bersama-sama atas nama cinta dan keinginan keduanya. Untuk itukah pernikahan singkat mereka?
Berat hati untuk mengatakan bahwa cinta adalah hal yang sia-sia. Saat cinta itu ada, semuanya terfokus pada perasaan senang, kebaikan, dan juga bodoh atau palsu dalam tindakan, seolah-olah itu bukan diri mereka, padahal sifatnya hanya sementara saja. Saat cinta itu menghilang dari kehidupan, matipun rasanya tak apa, karena hidup yang tidak lagi ada guna nya, kesedihan yang mendalam, hingga perbuatan tidak baik yang dilakukan untuk mengundang perhatian banyak insan agar tahu bahwa kita sedang berkabung dalam perasaan.
Berapa banyak anak-anak yang menderita atas perpisahan kedua orang tua mereka? Berapa banyak kekerasan dalam hubungan? Berapa banyak manusia yang kehilangan karena penghianatan? Bukankah itu berawal dari cinta yang seharusnya terus bertumbuh subur menebarkan benih kebaikannya kepada seluruh keturunan hidup mereka? Sekali lagi, berat hati untuk mengatakan bahwa cinta adalah hal yang sangat sia-sia.
Perkenalkan nama gue Julia. Hidup sebagai anak kedua di sebuah keluarga problematik itu bisa dibilang menguras emosi tapi juga banyak cerita serunya, bak drama action. Gue tinggal dalam satu rumah bersama papa, ibu (istri ketiga papa), kakak, dan adik laki-laki gue (anak papa dari istri keduanya). Terlihat cemara sekali bukan? Tentunya gue bangga menjadi anak dari istri pertama papa bersama satu saudara perempuan yang sering gue panggil Kak Mona itu. Istri ketiga papa saat ini, dulunya adalah seorang janda beranak dua yang usia anaknya sebaya dengan gue dan Kak Mona, namun keduanya berjenis kelamin laki-laki. Untungnya kita tidak tinggal satu rumah dengan dua anak ibu tiri kita tersebut, jadi tidak merusak struktur keluarga yang memang sudah rusak.
Rumah tempat tinggal kita sekarang sering kali menjadi saksi bisu pertengkaran papa dan istrinya, entah itu masalah anak, keuangan yang harus dibagi rata, atau masalah sepele yang selalu dibesar-besarkan oleh istri papa gue. Di antara tiga anak papa, gue adalah anak yang paling patuh. Kak Mona tidak pernah peduli akan kondisi rumah, apalagi adik laki-laki gue yang taunya hanya bermain saja. Tapi gue tidak merasakan perasaan itu sendirian kok. Ada Devranda yang merupakan sepupu gue dan selaku anak tengah juga yang pernah merasakan hal sama dengan gue, namun bedanya dia hidup dalam lingkungan keluarga cemara dan utuh.
Setiap keadaan rumah gue sedang kacau balau, Devranda adalah pelarian yang sangat tepat. Dia adalah pendengar yang baik. Setiap ucapan penenang yang keluar dari bibirnya sangat berarti buat gue. Sifat penyayangnya, tutur bahasa yang sangat lembut, serta kepekaannya terhadap sesuatu itu membuat gue merasa bersyukur memiliki abang sepupu seperti dia. Namun sifat Devranda yang begitu, menjadikan dia playboy tingkat global karena para perempuan mudah langsung jatuh hati dan menganggap bahwa Devranda itu menyukai mereka. Padahal itu memang sifat asli Devranda, karena impiannya itu ingin memiliki adik perempuan, namun tak pernah terwujud sampai pada usianya yang ke-25 tahun ini. Mungkin kalau gue adalah adik kandung Devranda, pasti akan mendapat kasih sayang yang tiada henti darinya, karena dia hanya memiliki adik dan kakak laki-laki. Maka dari itu, moto hidup Devranda adalah menjadi penyayang kepada semua perempuan.
Makin hari keadaan rumah gue semakin kacau. Pertengkaran antara Kak Mona dan ibu tiri gue tak kunjung usai, bahkan malah makin bertambah-tambah. Mereka sering bertengkar karena kekuatan ego yang sama besarnya. Yang satu menganggap sifat anak itu tergantung bagaimana didikan orang tuanya, dan yang satu lagi menganggap orang tua mana yang akan bersikap ramah jika anaknya itu bengal.
"Hallo? Itu suara apa Julia?" Tanya seseorang dalam ponsel gue yang mendengar huru-hara rumah ini pada malam hari. Gue malu sekali jika harus menjelaskan kegaduhan apa yang sedang terjadi kepada seorang laki-laki yang gue harap bisa hidup abadi bersamanya itu, dari usia kita yang kini sama-sama 17 tahun, hingga akhir masa hidup kita nanti. Memang terdengar agak berlebihan sih. Ya, gue punya pacar. Namanya Fadka.
"Maaf ya, nanti aku hubungin kamu lagi!" Gue langsung matikan sambungan panggilan kita berdua dan beranjak dari kasur untuk menghampiri dua wanita tak berakal itu. Gue tidak salah bicara kok. Mereka memang tidak berakal karena sudah membuat tidak nyaman orang sekitar saat papa sedang tidak berada di rumah, terlebih ini adalah malam hari.
Saat gue keluar kamar, terlihat Kak Mona juga keluar dari pintu rumah ini sambil membawa tas gendongnya. Palingan dia kabur ke rumah sepupu perempuan gue yang telah menikah, atau dia ke rumah tante gue yang merupakan sepupu perempuan dari papa.
Gue menatap sinis si ibu tiri yang terduduk di meja makan sembari menurunkan emosinya. Itu gue lakukakn bukan sebagai rasa bentuk membela Kak Mona, melainkan miris dengan sikap ibu tiri gue yang seperti perempuan labil. Gambaran ibu-ibu baby blues yang gak sembuh-sembuh. Gue kesal karena ibu tiri gue ini tidak hanya berlawanan dengan Kak Mona saja, tapi adik gue juga. Coba pikir, satu orang yang memiliki masalah dengan banyak orang itu, kira-kira sumber masalahnya ada dimana. Jelas ada pada diri satu orang itu kan. Kenapa gue tidak pernah punya masalah dengan dia, itu karena setiap dia berucap tak pernah gue bantah, apa mau dia selalu gue turuti. Ambil ini lah, ambil itu, tolong ini, tolong itu, antar ke sana-sini, semuanya gue lakukan dengan patuh. Gue gak bodoh, cuma malas ribut aja.
"Kakak kamu itu makin besar, makin gak tau diuntung! Apa sih yang di banggakan dari diri dia itu?"