TUNGGU AKU DI BATAVIA

ni ketut yuni suastini
Chapter #1

TAWANAN YANG BEBAS

Indonesia, jelang kekalahan Jepang tahun 1945

Kamp interniran. 

Malam terperangkap dalam senyap. Gelap. Pekat. Suara binatang malam seakan lenyap. Rembulan dan bintang terjerat di balik mega-mega, pucat tak berdaya hingga tak secercah cahayanya mampu menerangi langit. Dalam ruang-ruang sempit tak bercahaya itu, semua diam seolah tengah bersiaga. Kematian bisa datang kapan saja.

"Jam berapa sekarang?" 

Seseorang berbisik pada teman yang duduk meringkuk di sebelahnya. Sesosok manusia yang ditanya itu menggeleng pelan, meski dalam gelap tak ada yang bisa melihat gerakan kepalanya. Ia mengeluh dalam hati. Masih pentingkah bertanya tentang waktu bila tiap detik yang terlewati tidak ada bedanya. Hanya sebuah pertanyaan yang sama dengan jawaban yang tidak pasti. Hidup atau akan matikah ia hari ini? 

Kehidupan adalah keberanian untuk memutuskan tidak mati hari ini. Itulah kalimat pertama yang selalu ia ucapkan saat membuka mata, dan menemukan dirinya masih bernapas. Kalimat yang selalu ia ulang-ulang meski kadang kematian terasa lebih baik daripada kehidupan yang tengah dijalaninya.

Ia tak ingin memilih kalah. Walau melewati jalan yang tak mudah, meski harus terkapar bersimbah darah. Hantaman popor senjata dan juga siksaan rasa lapar, tak cukup membuatnya menyerah pada kematian. Tidak hari ini, tidak juga besok. Ia tidak ingin mati sebelum bertemu mereka. Nyala harapannya tak pernah pupus. Ia terus berusaha menjaga pijar asa. Berdoa agar jantungnya tetap berdenyut hari ini demi sebuah keyakinan bisa bertemu kembali dengan dua orang paling berharga di hidupnya. Dua orang yang selalu membuatnya ingin tetap melihat matahari esok hari.

"Kurang ajar!"

Terdengar suara bentakan. Diikuti derit pintu besi yang terbuka dan disusul suara pukulan serta tendangan bertubi-tubi. Seseorang menjerit kesakitan, entah di ruang yang mana. Lebih baik diam dan berpura-pura tidak tahu daripada ikut kena getahnya. Peristiwa seperti ini bukan yang pertama kalinya. Mungkin saja seseorang cukup bodoh mencoba melarikan diri padahal itu adalah tindakan yang sia-sia sebab tak ada yang pernah berhasil melakukannya.

Dor!

Ia nyaris terlonjak. Dadanya berdegup kencang. Seraya menahan napas ia menunggu, namun tidak terjadi apa-apa. Segalanya kembali hening, tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa meski satu nyawa telah melayang malam ini.

***

Desember, 1945

Seorang lelaki bertubuh tinggi jangkung dan sangat kurus berjalan tertatih-tatih memasuki salah satu ruangan bekas bangunan pabrik gula. Jalannya tampak oleng, beberapa kali ia berhenti karena serangan rasa sakit di kepala. Pada masa VOC masih jaya dan belum dinyatakan pailit tanggal 31 Desember 1799, bangunan megah dengan pilar-pilar kokoh ini merupakan salah satu aset milik VOC yang selalu ramai dan sibuk oleh para pekerja. Sejak VOC bubar, maka pengelolaan pabrik pun diserahkan pada pemerintah Belanda. Namun saat Belanda takluk pada Jepang dengan perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, segala kegiatan di pabrik gula itu pun ikut berhenti. Kini setelah Jepang menyerah pada tentara Sekutu, bangunan itu beralih fungsi menjadi tempat pendataan orang-orang Eropa yang dibebaskan dari kamp tahanan Jepang. 

Lelaki kurus yang nyaris menyerupai tengkorak hidup itu terlihat sangat letih dan tidak bertenaga. Ia seolah tak peduli dengan keriuhan serta hiruk-pikuk yang terjadi di sekelilingnya. Suara tangis, teriakan haru, jerit histeris orang-orang yang panik mencari kerabat, serta aroma ketakutan yang mencekam.

Lihat selengkapnya