TUNGGU AKU DI BATAVIA

ni ketut yuni suastini
Chapter #2

JEJAK

Amsterdam, 2000

Dia seperti cahaya mentari pagi. Hangat, dan penuh energi. Ada pesona yang seketika memerangkap Bima, hingga ia sulit mengalihkan pandangan dari sosok gadis berkemeja putih tulang yang melangkah keluar dari pintu kedatangan di bandara Schiphol. Cantik? Sejujurnya, di usia Bima yang sudah tiga puluh lima tahun, melihat gadis cantik bukanlah hal asing baginya. Bahkan Bima pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan wanita yang lebih cantik. Yah walaupun status hubungan itu tak pernah meningkat, dan berakhir kandas di tengah jalan. Seksi? Sudut bibir Bima melengkung tipis. Gadis bertubuh mungil yang rambutnya dikuncir ekor kuda itu tak bisa dimasukkan dalam kategori seksi. Setidaknya untuk ukuran barisan para mantan yang berderet di belakang Bima. 

“Awas ya, kalau kamu berani macam-macam sama Arimbi.” Reina, sepupunya telah mengancam Bima di telepon tiga hari lalu.

“Ah kamu kayak nggak kenal sama aku saja, Rei. Curigaan banget sih? Kamu pikir aku cowok gampangan yang langsung embat tanpa pilih-pilih. Lagian umurnya masih bocah. Aku tidak berminat jadi pedofil. Ih amit-amit!” gerutu Bima pura-pura tersinggung oleh ancaman Reina. 

“Justru karena aku sangat kenal kamu, aku tahu kamu itu buaya,” umpat Reina yang disambut Bima dengan tawa keras. 

Hubungan Bima dan Reina memang sangat dekat. Bukan hanya karena ibu Bima adalah kakak kandung ayah Reina. Tapi karena usia mereka yang sebaya, dan sama-sama pernah kuliah di Bandung. Bima meneruskan karir menjadi diplomat muda. Ia pernah ditugaskan di beberapa negara di Eropa. Tiga hari lalu, tiba-tiba saja Reina menghubungi Bima agar menjemput Arimbi, adik iparnya yang akan datang ke Belanda. 

“Adiknya Yudis?” tanya Bima. Yudis adalah nama suami Reina. 

“Iya. Adik Yudis satu-satunya. Makanya aku khusus minta kamu agar menjaga Arimbi baik-baik selama ia di sana,” pinta Reina serius.

“Memang dia mau liburan berapa hari di sini? Asal jangan rewel saja anaknya. Aku banyak kerjaan juga, Rei.”

“Arimbi ke sana bukan mau liburan, Bim. Dia mau mencari seseorang.”

“Seseorang? Cowoknya? Males deh gue. Ikut-ikutan mengurusi urusan asmara ala-ala sinetron,” keluh Bima.

“Bukan, Bim. Kamu belum kenal Arimbi. Dia gadis cerdas, tangguh dan berprinsip. Buktinya, Arimbi berani menolak permintaan mertuaku untuk masuk fakultas kedokteran seperti Yudis. Meneruskan tradisi di keluarga mertuaku. Arimbi memilih jurusan ilmu komunikasi. Ia anak yang sangat mandiri. Arimbi kerja magang di sebuah harian sambil kuliah. Pokoknya, kujamin kamu tidak akan kerepotan,” janji Reina meyakinkan Bima.

“Memangnya, ia mencari siapa?” Bima mulai tertarik pada adik ipar Reina.

“Willem Godewyn.”

“Siapa dia?” 

“Entahlah. Tapi kurasa ini ada hubungannya dengan teka-teki ayah kandung ibu mertuaku yang selama ini ditutupi Eyang. Dari buku harian Eyang, ibu mertuaku menduga Willem adalah ayah kandungnya.”

“Jadi Yudis ada keturunan indo gitu?”

“Begitulah kurasa. Nanti biar Arimbi yang cerita detailnya. Kuminta kamu bantu dia ya. Dan jangan berani-berani menyentuhnya. Kalau kamu nekat, aku akan mengadu pada keluarga besar kita. Biar kamu babak belur digebuki orang sekampung!” ancam Reina yang kembali disambut ledakan tawa Bima.  

 Arimbi! Ingatan Bima mengembara ke Jakarta tujuh tahun lalu, saat ia menghadiri pernikahan Reina. Samar-samar bayangan seorang gadis remaja berusia lima belas tahun berkebaya merah muda, dengan rambut disanggul cepol dan dihiasi sekuntum mawar putih muncul dalam benaknya. Ah gadis yang itu rupanya. Gadis yang hanya melirik sekilas tanpa minat padanya, di saat gadis-gadis lainnya berlomba-lomba menarik perhatian Bima. Rupanya peristiwa itu sudah tujuh tahun berlalu. Bima tiba-tiba merasa tua.

*** 

Aku harus bergegas. Setiap menit sangat berharga! Arimbi berjalan di antara penumpang yang turun dari pesawat Garuda Indonesia yang membawanya dari Jakarta ke Amsterdam. Angin bulan April memainkan anak-anak rambutnya yang terjuntai, pemandangan yang justru makin membuat wajah bulat telur itu kian menarik. Saat ini sudah memasuki musim semi dan udara terasa lebih hangat, sehingga Arimbi bisa mengenakan pakaian santai dengan nyaman. Bila saja kedatangan Arimbi ke Belanda untuk liburan, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menjelajah berbagai destinasi wisata yang ada di Amsterdam dan juga melihat indahnya bunga-bunga tulip bermekaran. Namun tidak. Ia tidak akan melakukan itu di saat Eyang Roekmi tengah terbaring koma. 

Eyang Roekmi, ibu dari Sophia, perempuan yang melahirkan Arimbi. Eyang Roekmi sangat menyayangi Arimbi. Bahkan saat Arimbi kecil, kesibukan Sophia mengajar sebagai dosen di fakultas kedokteran, dan juga praktik di rumah sakit, membuat hari-hari Arimbi lebih banyak dihabiskan bersama Eyang Roekmi. Usia Arimbi terpaut lima belas tahun dengan Yudis, kakak sulungnya yang juga seorang dokter. Kesibukan Mama,Papa, dan juga Yudis,membuat Arimbi sering merasa kesepian. Eyang Roekmilah yang melimpahi Arimbi dengan kasih sayang, menemani Arimbi melewati masa remaja, hingga Arimbi tumbuh menjadi gadis yang memiliki pandangan lebih dewasa dari usianya. 

“Menjadi perempuan itu harus pandai-pandai membawa diri. Karena pada tubuh perempuan Semesta mempercayakan benih kehidupan tumbuh. Jaga pergaulanmu dengan lelaki, tetapkan batas moralmu dan jangan melanggar batas-batas itu bila kau belum siap bertanggung jawab atas konsekwensi yang ditimbulkannya.” Demikian pesan Eyang Roekmi yang selalu diingat Arimbi baik-baik. Perempuan tua yang jejak kecantikan masa mudanya masih terlihat itu pula yang menanamkan kemandirian pada Arimbi. Eyang selalu berkata, “Perempuan itu harus mandiri, Arimbi. Karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi hari esok.”

Eyang Roekmi perempuan tegas yang telah melalui pengalaman hidup yang keras. Ia melewatkan masa muda di masa penjajahan kolonial Belanda dan juga Jepang. Meski berusia senja, semangat Eyang masih bisa menghangatkan hati orang-orang di sekitarnya. Hati Arimbi sangat terpukul kala Sophia mengabarkan kalau Eyang Roekmi tiba-tiba terjatuh dan mengalami koma. Segera Arimbi terbang dari Jogja ke Jakarta. Arimbi menemani Eyang Roekmi. Mengajaknya terus bicara meski neneknya tetap diam tak merespon ucapan Arimbi. Gadis itu mencoba mencari-cari segala hal yang disukai neneknya. Sampai suatu hari, Arimbi menemukan setumpuk surat-surat yang disimpan dengan rapi dalam sebuah kotak kayu tua berukir. Arimbi juga menemukan selembar foto hitam putih seorang lelaki tampan dan gadis cantik, potret neneknya di masa muda. Foto yang terselip dalam lembaran buku harian neneknya. Buku harian yang membuka tabir asal-usul kelahiran ibunya, dan juga kisah cinta Eyang Roekmi.

“Willem Godewyn,” kelopak mata Eyang Roekmi bergerak lemah saat Arimbi membisikkan nama itu di telinganya. Jantung Arimbi berdebar-debar.

“Eyang ingin surat-surat ini sampai pada Willem?” 

Jari-jari lemah Eyang Roekmi yang ada dalam genggaman Arimbi seakan mencoba bergerak. Merespon ucapan Arimbi.

“Eyang, jangan khawatir. Arimbi akan mencari Willem. Surat-surat ini, pasti sampai ke tangannya,” janji Arimbi, “andai kata Willem telah tiada, Arimbi akan membacakan surat ini di depan nisannya,” imbuh gadis itu.

Dan di sinilah Arimbi kini. Di Amsterdam, dalam perjalanan mencari seseorang yang sangat berarti bagi Eyang Roekmi.

***

 

“Arimbi?” Lelaki itu menyapa Arimbi hangat. Arimbi mengangguk pada lelaki tampan bertubuh tinggi yang tersenyum ramah kepadanya. Reina, kakak ipar Arimbi, telah mengatakan bahwa sepupunya yang bernama Bima akan membantu selama Arimbi di Belanda.

“Tapi kau harus hati-hati ya, Ari. Jangan sampai kau jatuh hati pada Bima. Ia playboy kelas kakap. Kakak tidak ingin kau masuk dalam daftar barisan mantannya,” Reina memperingatkan dengan sungguh-sungguh.

Lihat selengkapnya