TUNGGU AKU DI BATAVIA

ni ketut yuni suastini
Chapter #3

PEREMPUAN BERMATA SEDIH

Belanda, 1930

Perempuan itu datang lagi! Ini adalah kali ketujuh Willem melihatnya. Perempuan yang datang seperti kabut. Dingin dan tiba-tiba. Lalu ia menghilang menyisakan rasa penasaran yang mencengkeram buluh-buluh kesadaran, dengan segala hal yang terasa asing bagi Willem. Wajah bulat telur, kulit yang berwarna coklat, rambut gelap digelung membentuk sebuah bulatan di belakang kepala. Perempuan itu mengenakan baju berlengan panjang warna putih dipadukan dengan kain bercorak unik. Batik, Willem pernah mendengar demikian nama kain bercorak unik itu. Ibunya, Debora Godewyn, pernah mendapat hadiah berupa kain-kain indah bercorak cantik dari beberapa temannya yang baru datang dari Hindia Belanda. Corak kain yang beragam. Menurut si pemberi hadiah, kain-kain indah itu ditulis tangan dengan menggunakan lilin batik yang disebut malam. Tiap corak mengandung makna berbeda-beda. Debora pernah menunjukkan pada Willem beberapa kain batik bercorak lukisan binatang, bunga, wayang, maupun relief bangunan. Kain itu memiliki aroma khas seperti kulit kayu dan tumbuhan yang hangat. Konon aroma itu berasal dari bahan pewarna yang memang diambil dari berbagai tumbuhan. Warna merah dari pohon mengkudu, warna biru dari daun nila, warna coklat dari tanaman sogo jambul, dan kuning dari tegeran. Nama-nama tumbuhan yang terdengar asing bagi Willem. Sepasang mata Willem bergerak cepat menelusuri motif kain yang dikenakan oleh wanita asing itu. Menilik dari coraknya, tak salah lagi, Willem yakin kain itu kain batik. Willem menghela nafas, apakah perempuan asing ini berasal dari Hindia Belanda? 

Perempuan muda berkain batik itu kini berjalan takut-takut mendekati pagar tinggi bercat putih. Sepasang kakinya yang telanjang berwarna hitam. Perempuan itu mencengkeram erat tiang-tiang pagar. Seolah hendak melesakkan tubuhnya yang kurus dalam celah besi agar ia dapat menyusup masuk ke halaman rumah yang luas, tempat seorang bocah laki-laki montok berambut pirang tertawa riang dalam gendongan wanita cantik berambut kemerahan. Bibir perempuan muda berkain batik komat-kamit. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tak dipahami oleh Willem, namun naluri Willem mengatakan wanita asing itu tengah berusaha memanggil si bocah montok. Willem tak tahan lagi. 

Wat is je naam?” sapa Willem mengejutkan perempuan itu. Ia sengaja mendekati wanita itu dengan langkah sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Kali ini perempuan itu tak boleh lepas lagi! Willem sangat penasaran. Siapa sesungguhnya dia? Dari mana ia berasal? Mengapa ia ada di sini, di Belanda? Apa yang dilakukannya?

Perempuan itu berbalik cepat. Wajah Willem pias ketika pandangan mata mereka beradu tatap. Mata bulat bening yang tengah berurai air mata itu menatap Willem tajam. Namun bukan tatapan matanya yang menyebabkan Willem terkejut. Sepasang mata coklat gelap milik perempuan itu sangat dikenalnya. Warna mata itu sama dengan miliknya! 

Seperti terbius Willem tak mampu berkata-kata. Ia tetap membisu ketika perempuan itu mengulurkan tangan menyentuh wajah Willem. Telapak tangannya yang kasar menyusuri tiap lekuk wajah Willem. Merabai profil hidungnya yang mancung, menyentuh keningnya yang lebar. Perempuan itu tersenyum. Bibirnya bergetar mengucap kata lirih,“Anakku.”

Nee! Nee!” Willem berteriak panik ketika tubuh perempuan itu perlahan berubah menjadi transparan tembus pandang. Sosoknya kini menjadi selapis kabut. Serupa siluet yang kian kabur. Willem berusaha meraih tubuh perempuan itu, mencegahnya menghilang. “Jangan pergi dulu! Siapa kamu?”

“Akhh!! Akhh!!” Suara Willem tercekat di tenggorokan. Napasnya tersengal-sengal, ada tangan-tangan yang kokoh tengah mencengkeram kuat batang lehernya, mencegah aliran oksigen ke paru-parunya. Ia tak mampu bernapas!

“Aakkhhhhhh!!!” Sekali sentak Willem melepaskan diri dari jepitan sekuat besi di lehernya. Tubuh atletis itu melenting bagai peer pegas terlonjak bangun tiba-tiba. Dadanya turun naik, keringat membasahi tubuh meski udara di luar dingin.

“Huh, mimpi itu datang lagi,” keluh Willem lesu. Ia menyentuh pipi, hidung, dan keningnya sendiri, masih bisa dirasakannya sentuhan tangan perempuan itu di wajahnya, sentuhan itu seperti nyata! Willem dapat menggambarkan dengan jelas rasa hangat dan gemuruh yang kuat di dadanya ketika telapak tangan yang kasar itu menyentuh tiap sudut wajahnya.

 Jika ini mimpi, mengapa selalu sama?”

**

Willem bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya yang tinggi atletis kini bersandar di depan jendela, memandang lepas pada hamparan rumput yang berselimut salju. Seharusnya musim dingin belum lagi tiba. Ini masih musim gugur, namun hembusan angin di luar sudah menusuk tulang. Suhu di luar -3’ Celcius. Pepohonan mulai berubah warna menjadi kuning keemasan, daun-daun terserak berguguran. Willem menatap bangunan kecil beratap jerami yang kini tampak putih ditutupi lapisan salju es tipis. Bangunan rumah kayu itu terletak beberapa meter di belakang bangunan utama rumahnya. Rumah keluarga Godewyn berdiri megah di areal yang luas. Mereka adalah keluarga terpandang secara turun temurun di kota ini. Ayah Willem, Hendric Godewyn memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Ibunya, Debora, putri seorang pemilik perkebunan yang kaya raya. Kakek Willem, Hanson Godewyn seorang dokter yang dihormati. Seolah melengkapi dan menegaskan status sosial mereka sebagai keluarga terpandang, Lidia kakak perempuan sekaligus satu-satunya saudara Willem menikah dengan keturunan bangsawan dari Delft.

Willem memandang hutan kecil di belakang rumahnya. Saat ia kecil, pada hari-hari di musim gugur atau jelang musim dingin, Willem senang bermain-main di hutan itu, menikmati embun yang membeku di atas pohon cemara atau sekedar mencari buah berry liar dan jamur yang banyak tumbuh di sana. Meski Debora sering melarang Willem kecil pergi sendirian, namun diam-diam larangan itu selalu dilanggarnya. 

Selapis kabut menyelimuti permukaan beberapa pohon. Dulu, Debora sering menceritakan tentang legenda Witte Wieven, roh wanita bijak yang baik hati. Kehadiran roh wanita bijak itu ditandai dengan datangnya kabut. Menurut ibunya, Witte Wieven adalah wanita yang memiliki kemampuan untuk melihat masa depan. Ia juga tabib obat yang dapat menyembuhkan orang sakit. Ketika wanita bijak itu meninggal, roh mereka masih tetap tinggal di bumi. Willem kecil yang sangat tertarik pada cerita itu sangat penasaran. Itulah sebabnya diam-diam saat kabut datang Willem sering menyelinap ke hutan kecil di belakang rumahnya. 

Willem, pemuda berusia dua puluh tahun dan baru sebulan menyelesaikan pendidikan ingenieur di sebuah universitas ternama di Utrecht. Di kota itu ia tinggal di asrama bersama Herold, kawannya yang berasal dari Kinderdijk. Herold, seperti namanya bertubuh sangat kuat. Pada hari-hari jeda kuliah, bersama Herold, Haz, dan Karel, Willem kerap berjalan-jalan menghabiskan senja di sepanjang kanal Oudegracht, kanal tua indah yang dibangun pada masa Romawi. Berlama-lama menikmati hembusan angin dan pemandangan burung-burung camar yang terbang adalah hiburan yang menyenangkan. Di pinggir-pinggir kanal terdapat ruang-ruang penyimpanan barang. Tidak jauh tampak hotel Kasteel Van Antwepen yang baru dibangun tahun 1882 berdiri megah. 

Di antara mereka berempat, Willem memiliki wajah paling rupawan. Dahinya lebar, rahang persegi yang membentuk garis tajam ke arah dagu yang datar. Bentuk dagu yang datar justru menambah kesan maskulin. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan sepasang mata yang berwarna coklat gelap. Willem pernah mempertanyakan pada orang tuanya mengapa warna matanya berbeda dengan warna mata mereka. Willem bermata coklat gelap sementara Hendric, Debora, dan Lidia bermata biru. Debora mengatakan padanya bahwa Willem mewarisi warna coklat itu dari salah seorang kakeknya.

“Tahukah engkau selalu menarik perhatian gadis-gadis?” Herold pernah menanyakan itu padanya.

Nee,” Willem menggeleng singkat.

“Willem hanya tertarik pada mesin dan buku,” sahut Haz. Willem hanya tersenyum menanggapinya.  

“Hei Willem! Sungguh sayang bila masa mudamu hanya kau benamkan pada tumpukan buku-buku itu. Keluarlah dari goa nyamanmu dan perhatikan. Ada banyak hal-hal menarik di sekitarmu yang jauh lebih menggairahkan dari huruf-huruf yang kau baca itu.” Karel menimpali dan berkedip nakal. Keempat pemuda itu tertawa.

“Namun bila kuperhatikan sepertinya ada yang keliru pada penglihatan gadis-gadis itu. Bagaimana bisa pandangan mereka hanya tertuju padamu, dan melewatkan karisma yang ada pada diriku?” Haz sedikit menggerutu. Pria kurus anak seorang pemilik toko roti di Amsterdam itu adalah yang terkurus di antara mereka berempat. Mata Haz melirik pada dua orang gadis berambut pirang yang melintas. Gadis-gadis manis yang  tampil sangat modis dengan topi cloche berenda. Kedua gadis itu mengenakan mantel dengan bahu lebar dan bulat yang dipotong utuh dengan kuk serta sarung tangan pendek. Gaun mereka pas di badan dengan ujung rok selutut yang agak lebar melambai. Sungguh trendy! Memasuki tahun 1920-an, trend mode sebelumnya yang lebih condong ke jaman Victoria telah berubah. Kedua gadis itu tampak mencuri pandang ke arah Willem. 

“Hei Haz. Kau harus punya keluarga yang kaya raya dulu jika ingin bersaing dengan Willem, karena wajah tampan saja tidak cukup. Kau lihat dua gadis yang lewat tadi? Coba kau tebak berapa kira-kira harga pakaiannya? Tak semua orang beruntung diberi wajah tampan, otak pintar, serta keluarga yang kaya,” sela Herold. 

“Dan juga calon istri yang cantik,” imbuh Karel, “hidupmu sungguh sempurna, Kawan.” Karel menepuk bahu Willem.

“Baiklah. Aku menyerah bila latar belakang keluarga juga masuk hitungan.” Wajah Haz kini diselimuti awan mendung. Ia tertunduk lesu.

“Tenanglah, Haz. Mereka hanya menggodamu saja. Ini tak seburuk yang kau kira. U bent rijk wanneer u van alles weet te genieten.” Willem mencoba menghibur Haz dengan mengutip sebuah kata mutiara yang pernah didengarnya.

Seekor burung terbang rendah lalu menghilang diantara rimbun pepohonan hutan, membuyarkan lamunan Willem yang terkenang pada tiga sahabatnya. Wajah Willem berubah ketika ia kembali teringat pada mimpinya. Siapa sesungguhnya perempuan itu? Ia nyata atau hanya ilusi saja? Jika hanya ilusi mengapa bisa datang berkali-kali dalam mimpinya? Hah! Ia harus mencari tahu!

*** 

Goedemorgen!” Sapa Willem pada Debora yang sedang menyiapkan sarapan di bantu oleh Brechtje, pengurus rumah tangga yang sudah puluhan tahun bekerja dengan keluarga mereka. 

Lihat selengkapnya