Tunggu Aku di Batavia

Falcon Publishing
Chapter #2

Tawanan yang Bebas

Tawanan yang Bebas


Kamp interniran, Jakarta

1945, menjelang kekalahan Jepang

Malam terperangkap dalam senyap. Gelap. Pekat. Suara binatang malam seakan lenyap. Rembulan dan bintang terjerat di balik mega-mega, pucat tak berdaya hingga tak secercah cahayanya mampu menerangi langit.

Dalam ruang-ruang sempit tak bercahaya itu, semua diam seolah tengah bersiaga. Kematian bisa datang kapan saja.

“Pukul berapa sekarang?”

Seseorang berbisik kepada teman yang duduk meringkuk di sebelahnya. Sosok manusia yang ditanya itu menggeleng pelan, meski tak ada yang bisa melihat gerakan kepalanya dalam gelap. Dia mengeluh dalam hati. Masih pentingkah bertanya tentang waktu bila tiap detik yang terlewati tidak ada bedanya? Hanya sebuah pertanyaan yang sama dengan jawaban yang tidak pasti. Hidup atau akan matikah dia hari ini?

Kehidupan adalah keberanian untuk memutuskan tidak mati hari ini. Itulah kalimat pertama yang selalu dia ucapkan saat membuka mata dan menemukan dirinya masih bernapas. Kalimat yang selalu dia ulang- ulang meski kadang kematian terasa lebih baik daripada kehidupan yang tengah dijalaninya.

Dia tak ingin memilih kalah. Walau melewati jalan yang tak mudah, meski harus terkapar bersimbah darah. Hantaman popor senjata dan siksaan rasa lapar tak cukup membuatnya menyerah pada kematian.

Tidak hari ini, tidak juga besok. Dia tidak ingin mati sebelum bertemu mereka. Nyala harapannya tak pernah pupus. Dia terus berusaha menjaga pijar asa. Berdoa agar jantungnya tetap berdenyut hari ini demi sebuah keyakinan bisa bertemu kembali dengan dua orang paling berharga di hidupnya. Dua orang yang selalu membuatnya ingin tetap melihat matahari esok hari.

“Kurang ajar!”

Terdengar suara bentakan. Pintu besi berderit terbuka disusul suara pukulan serta tendangan bertubi-tubi. Seseorang menjerit kesakitan, entah di ruang mana. Lebih baik diam dan berpura-pura tidak tahu daripada ikut kena getahnya. Peristiwa seperti ini bukan yang pertama kalinya. Mungkin saja seseorang cukup bodoh mencoba melarikan diri meski tahu itu tindakan sia-sia. Tak ada yang pernah berhasil melakukannya.

Dor!

Dia nyaris terlonjak. Dadanya berdegup kencang. Seraya menahan napas dia menunggu, namun dia hanya mendengar detak jantungnya sendiri. Segalanya kembali hening, tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa meski satu nyawa telah melayang malam ini.

***

Desember 1945

Seorang lelaki bertubuh jangkung dan sangat kurus berjalan tertatih- tatih memasuki salah satu ruangan bekas bangunan pabrik gula. Jalannya tampak oleng, beberapa kali dia berhenti karena serangan rasa sakit di kepala.

Lihat selengkapnya