Tunggu Aku di Batavia

Falcon Publishing
Chapter #3

Jejak

Jejak


Amsterdam, 15 April 2000

Dia seperti cahaya mentari pagi, hangat dan penuh energi. Ada pesona yang seketika memerangkap Bima hingga dia sulit mengalihkan pandang dari sosok gadis berkemeja putih tulang yang melangkah keluar dari pintu kedatangan di Bandara Schiphol. Cantik? Sejujurnya, di usia Bima yang sudah tiga puluh lima tahun, melihat gadis cantik bukanlah hal asing baginya. Bahkan, Bima pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih cantik walaupun status hubungan itu tak pernah meningkat dan akhirnya kandas di tengah jalan. Seksi? Sudut bibir Bima melengkung tipis. Gadis bertubuh mungil yang rambutnya dikucir ekor kuda itu tak bisa dimasukkan dalam kategori seksi.

Setidaknya dibanding barisan para mantan yang berderet di belakang Bima.

“Awas, ya, kalau kamu berani macam-macam sama Arimbi.” Reina, sepupunya, mengancam Bima di telepon tiga hari lalu.

“Ah, kamu kayak nggak kenal sama aku saja, Rei. Curigaan banget, sih? Kamu pikir aku cowok gampangan yang langsung main embat tanpa pilih-pilih? Lagian dia kan masih bocah. Aku nggak minat jadi pedofil. Ih, amit-amit!” gerutu Bima pura-pura tersinggung mendengar ancaman Reina.

“Justru karena aku benar-benar kenal kamu, aku tahu kamu itu buaya,” umpat Reina yang disambut Bima dengan tawa keras.

Hubungan Bima dan Reina memang sangat dekat. Bukan hanya karena ibu Bima adalah kakak kandung ayah Reina, melainkan karena mereka juga sebaya dan sama-sama pernah kuliah di Bandung. Bima memilih karier sebagai diplomat muda. Dia pernah ditugaskan di beberapa negara di Eropa.

Tiga hari lalu, tiba-tiba saja Reina menghubungi Bima agar menjemput Arimbi, adik iparnya yang akan datang ke Belanda.

“Adiknya Yudis?” tanya Bima. Yudis adalah suami Reina.

“Iya. Adik Yudis satu-satunya. Makanya aku khusus minta kamu biar menjaga Arimbi baik-baik selama dia di sana,” pinta Reina serius.

“Memang dia mau liburan berapa hari di sini? Asal nggak rewel saja anaknya. Aku banyak kerjaan juga, Rei.”

“Arimbi ke sana bukan mau liburan, Bim. Dia mau cari seseorang.”

“Seseorang? Cowoknya? Malas, ah, ikut-ikutan mengurusi urusan asmara ala-ala sinetron,” keluh Bima.

“Bukan, Bim. Kamu belum kenal Arimbi. Dia gadis cerdas, tangguh, dan berprinsip. Buktinya, Arimbi berani menolak permintaan mertuaku untuk masuk Fakultas Kedokteran seperti Yudis demi meneruskan tradisi keluarga mertuaku. Arimbi memilih jurusan Ilmu Komunikasi. Dia juga sangat mandiri. Arimbi kerja magang di sebuah harian sambil kuliah. Pokoknya, kujamin kamu nggak bakal kerepotan,” janji Reina meyakinkan Bima.

“Memangnya dia cari siapa?” Bima mulai tertarik pada adik ipar Reina.

“Willem Godewyn.”

“Siapa dia?”

“Entahlah. Tapi, kurasa ini ada hubungannya dengan teka-teki ayah kandung ibu mertuaku yang selama ini ditutupi Eyang. Dari buku harian Eyang, ibu mertuaku menduga Willem adalah ayah kandungnya.”

“Jadi, Yudis ada keturunan Indo gitu?”

“Begitulah kurasa. Nanti biar Arimbi yang cerita detailnya. Tolong kamu bantu dia, ya. Dan jangan berani menyentuhnya. Kalau kamu nekat, aku akan mengadu pada keluarga besar kita. Biar kamu babak belur digebuki orang sekampung!” ancam Reina yang kembali disambut ledakan tawa Bima.

Arimbi! Ingatan Bima mengembara ke Jakarta tujuh tahun lalu saat dia menghadiri pernikahan Reina. Dalam benaknya, samar-samar muncul bayangan seorang gadis remaja berkebaya merah muda dengan rambut disanggul cepol dan dihiasi sekuntum mawar putih. Ah, gadis yang itu rupanya. Gadis yang hanya melirik sekilas tanpa minat padanya saat gadis-gadis lainnya berlomba-lomba menarik perhatian Bima.

Rupanya sudah tujuh tahun berlalu sejak peristiwa itu. Bima tiba-tiba merasa tua.


***

Aku harus bergegas. Setiap menit sangat berharga!

Arimbi berjalan di antara penumpang yang turun dari pesawat Garuda Indonesia yang membawanya dari Jakarta ke Amsterdam. Angin bulan April memainkan anak rambutnya yang terjuntai, pemandangan yang justru membuat wajah bulat telur itu kian menarik. Saat ini sudah memasuki musim semi dan udara terasa lebih hangat sehingga Arimbi bisa mengenakan pakaian santai dengan nyaman.

Kalau saja Arimbi datang ke Belanda untuk berlibur, mungkin ini saat yang tepat untuk menjelajah berbagai destinasi wisata di Amsterdam sembari melihat indahnya bunga-bunga tulip yang bermekaran.

Namun, tidak. Dia tidak akan melakukan itu saat Eyang Roekmi tengah terbaring koma.

Eyang Roekmi, ibu dari Sophia, perempuan yang melahirkan Arimbi. Eyang Roekmi sangat menyayangi Arimbi. Bahkan saat Arimbi kecil, hari-harinya lebih banyak dihabiskan bersama Eyang Roekmi karena Sophia begitu sibuk mengajar sebagai dosen di Fakultas Kedokteran dan berpraktik di rumah sakit. Usia Arimbi terpaut lima belas tahun dengan Yudis, kakak sulungnya yang juga seorang dokter. Kesibukan Mama, Papa, dan Yudis membuat Arimbi sering merasa kesepian. Eyang Roekmi-lah yang melimpahi Arimbi dengan kasih sayang, menemani Arimbi melewati masa remaja, hingga Arimbi tumbuh menjadi gadis yang memiliki pandangan lebih dewasa daripada usianya.

“Menjadi perempuan itu harus pandai-pandai membawa diri. Sebab, Semesta memercayakan benih kehidupan tumbuh di tubuh perempuan. Jaga pergaulanmu dengan lelaki, tetapkan batas moralmu dan jangan melanggar batas-batas itu bila kau belum siap bertanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkannya.” Demikian pesan Eyang Roekmi yang selalu diingat Arimbi baik-baik.

Perempuan tua yang jejak kecantikan masa mudanya masih terlihat itu pula yang menanamkan nilai kemandirian pada Arimbi. Eyang selalu berkata, “Perempuan itu harus mandiri, Arimbi. Karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi hari esok.”

Eyang Roekmi perempuan tegas yang telah melalui pengalaman hidup yang keras. Dia melewatkan masa muda pada masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Meski sudah berusia senja, semangat Eyang masih bisa menghangatkan hati orang-orang di sekitarnya.

Karena itulah, Arimbi sangat terpukul kala Sophia mengabarkan bahwa Eyang Roekmi tiba-tiba terjatuh dan mengalami koma.

Arimbi segera terbang dari Jogja ke Jakarta. Dia menemani Eyang Roekmi, terus mengajaknya bicara meski neneknya tetap diam tak merespons ucapan Arimbi. Gadis itu mencoba mencari-cari segala hal yang disukai neneknya. Sampai suatu hari, Arimbi menemukan setumpuk surat yang disimpan rapi dalam sebuah kotak kayu tua berukir. Arimbi juga menemukan selembar foto hitam putih seorang lelaki tampan dan gadis cantik, potret neneknya di masa muda. Foto itu terselip dalam lembaran buku harian neneknya, buku yang membuka tabir asal-usul kelahiran ibunya, juga kisah cinta Eyang Roekmi.

“Willem Godewyn,” kelopak mata Eyang Roekmi bergerak lemah saat Arimbi membisikkan nama itu di telinganya. Jantung Arimbi berdebar-debar.

“Eyang ingin surat-surat ini sampai pada Willem?”

Jari-jari lemah Eyang Roekmi yang ada dalam genggaman Arimbi seakan mencoba bergerak, merespons ucapan Arimbi.

“Eyang, jangan khawatir. Arimbi akan mencari Willem. Surat-surat ini pasti sampai ke tangannya,” janji Arimbi.

“Andai kata Willem telah tiada, Arimbi akan membacakan surat ini di depan nisannya,” imbuh gadis itu.

Dan, di sinilah Arimbi kini. Di Amsterdam, dalam perjalanan mencari seseorang yang sangat berarti bagi Eyang Roekmi.

***

“Arimbi?” Lelaki itu menyapa Arimbi hangat.

Arimbi mengangguk pada lelaki tampan bertubuh tinggi yang tersenyum ramah kepadanya. Reina, kakak ipar Arimbi, telah mengatakan bahwa sepupunya yang bernama Bima akan membantu selama Arimbi di Belanda.

“Tapi, kamu harus hati-hati ya, Ari. Jangan sampai kamu jatuh hati pada Bima. Dia playboy kelas kakap. Aku nggak mau kamu masuk daftar barisan mantannya,” Reina memperingatkan dengan sungguh-sungguh.

“Tenang saja, Mbak. Aku bukan orang yang mudah jatuh hati. Lagi pula aku kan sudah punya Aryo,” jawab Arimbi santai.

Arimbi menghela napas melihat sang playboy kelas kakap kini tersenyum manis di hadapannya. “Kak Bima?”

Lihat selengkapnya