Dewa masih berkutat di depan komputernya. Kali ini pikirannya sedang jenuh dan tidak menghasilkan apa pun untuk ide scriptnya.
“Waktu lo tinggal lima hari lagi, Wa. Pak Daniel ingin segera membaca naskah elo,” Sinta menatap lekat wajah Dewa dengan lensa minusnya. Ada pendar kekesalan di wajah gadis itu. Naskah yang dijanjikan Dewa belum selesai juga.
“Gue lagi nggak konsentrasi, Sin. Semua imajinasi gue buyar dan gue nggak bisa ngelanjuti ceritanya.”
“Itu masalah elo. Gue nggak mau tau alasan apa pun yang elo utarakan. Yang penting elo menyelesaikan naskah itu dalam waktu lima hari. Karena elo sudah menandatangani surat perjanjian kerjasama dengan mereka. Gue hanya mengingatkan lo dan gue nggak mau bisnis kita berantakan hanya karena kecerobohan lo, Wa.” Sinta sedikit meninggikan suaranya, kemudian beranjak dari ruangan Dewa dan meninggalkannya. Dewa hanya melihat kepergian gadis itu dengan jalan yang gemulai.
Gadis itu memang menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama. Wajahnya cantik dengan rambut yang dibentuk sedemikian rupa. Namun sebagai atasan dan sekretaris di salah satu perusahaan rumah produksi, Sinta harus bersikap profesional. Sinta nggak mau hubungan asmara dan cinta disangkut pautkan dengan pekerjaan.
Mereka memang sudah jadian beberapa bulan yang lalu. Namun teman-teman lain tidak ada yang tahu, hingga Jhonatan, seorang Line Produser juga jatuh cinta pada Sinta.
Dewa terduduk di kursinya dan bersandar sambil menghela berat. Ia memperhatikan layar monitor komputer yang sama sekali masih kosong. Tenggat waktu yang dijanjikan tinggal lima hari lagi.
“Mana mungkin gue menyelesaikan naskah itu dalam waktu lima hari? Bulshit!” Dewa menggerutu sendiri.
Dewa berusaha mengembalikan konsentrasi cerita itu ke dalam tulisan. Berkali-kali dicobanya dengan membuat adegan-adegan mengerikan, namun tak kunjung tertuang dalam komputernya.
“Sial! Kemana ide-ide itu? Oh my God, help me please...!” rutuknya lagi.
Dewa menebarkan pandang pada ruang kerjanya, kemudian memperhatikan ruangan-ruangan lain. Teman-teman kerjanya sibuk dengan urusan masing masing. Ada yang ngobrol membicarakan proyek perusahan, ada juga yang hanya sekedar ngopi sambil mondar-mandir.
Sampai beberapa jam kemudian, Dewa belum juga menemukan ide cerita itu. Asbak sudah penuh dengan puntung rokok dan abunya mengotori meja kerja. Dia benar-benar stak di jalan. Bahkan untuk memulainya saja sulit.
Hingga sore menjelang Dewa belum juga menuliskan sebaris kalimat pun di komputernya. Entah mengapa kali ini ia benar-benar menjadi penulis yang bodoh. Untuk menulis satu kata aja sangat sulit. Seperti ada kekuatan gaib yang menahan tangannya untuk mengetik kata-kata itu.
“Lembur lagi?” tanya Sinta yang berdiri di depan pintu.
“Gue belum dapat ide, Sin... Gimana nih?”
“Trus gue harus ikut-ikutan lembur juga? begitu? Gue nggak bisa, Wa. Gue ada janji ama mama, jadi gue pulang duluan,”
“Siapa yang ngantar elo?” tanya Dewa cepat.
“Gue dijemput ama supir,”
“Ohh... Okey, hati-hati,”
“Ya. Dan elo harus menyelesaikan naskah itu malam ini. Gue jalan dulu ya...”
“Gitu aja?”
Sinta memelototkan matanya.
“Ayolah, Sayang...” pujuk Dewa merayu.
Kemudian Sinta masuk dan mengecup kedua pipi Dewa dengan cepat.
“Kenapa cuma itu?”
“Huussttt... Lagi banyak anak-anak. Elo mulai nakal ya,” Sinta mencubit lengan Dewa hingga ia memeki kesakitan.
“Aouww...”
“Rasain. Udah ah gue pergi dulu,”
“Ya.”
Sinta berlalu keluar dari ruangan Dewa sambil meninting tas tanganya. Dewa hanya menatapnya sambil tersenyum. Kemudian ia duduk kembali di kursinya sambil memandangi layar monitor komputernya.
###