Aroma kopi hangat menyeruak di hidung Dewa ketika ia masih tertidur pulas dengan dengkuran yang pelan. Seorang wanita baya masuk ke kamarnya dan meletakkan mug berisi kopi kegemaran Dewa di atas meja kecil.
“Bangun, Dewa... Sudah siang,” ucap wanita baya itu sambil membuka gorden jendela kamar anak laki-lakinya. Dewa bangun sambil memicingkan matanya karena silau matahari pagi.
“Sudah jam berapa, Ma?” tanyanya sambil mengucek mata.
“Jam delapan. Tadi temen kantormu telpon, katanya hari ini ada rapat dengan seorang produser,”
“Oh My God!” Dewa terkejut sambil melihat jam dinding tepat di atas pintu kamarnya. Sudah jam delapan lewat lima menit. Dewa bangkit dari tempat tidurnya dan beranjak ke kamar mandi. Marlina terkejut ketika melihat ada goresan di punggung Dewa. Seperti bentuk cakaran kuku manusia.
“Dewa... Punggungmu kenapa?” tanya Marlina sebelum Dewa masuk ke kamar mandi.
Dewa menghentikan langkahnya dan melihat punggungnya. Ia terkejut ada empat cakaran disana. Dahinya berkerut mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam.
“Nggak tahu, Ma. Kok ada cakaran ya?” Dewa merabanya dengan tangan kiri.
Marlina mendekati Dewa dan melihat luka di punggungnya. Luka bekas cakaran itu tergambar jelas.
Dewa mengingat kembali kejadian tadi malam. Tidak ada yang mencakar punggungnya, namun ia bertemu hantu-hantu Casablanca yang sangat mengerikan. Dewa nggak mau menceritakan hal itu ke Marlina. Ia takut mamanya menjadi cemas.
“Kamu ngapain tadi malam?” tanya Marlina semakin penasaran.
“Nggak ngapa-ngapain, Ma. Dewa di tempat kerja nyiapin naskah, itu aja,”
“Kamu yakin?”
“Yakin, Ma...”
“Kamu nggak mabuk kan?”
“Enggak,” Dewa menggeleng.
“Kamu nggak main perempuan kan?”
“Enggak, Ma. Suer...”
Marlina menatap Dewa dengan lekat. Seribu tanda tanya menyelubungi pikirannya.
“Ya sudah, kamu cepetan mandi.” Kata Marlina kemudian.
Dewa segera masuk ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Ia meraba punggungnya yang tiba-tiba terasa berdenyut.
“Hhsss... Aow...” pekiknya kesakitan.
Dewa menyalakan shower air hangat, lalu menyirami seluruh tubuhnya. Luka itu terasa perih ketika terkena air hangat. Sejenak ia memperhatikan luka cakar itu di cermin. Luka yang cukup jelas terlihat. Ia mengingat-ingat lagi kejadian malam tadi. Tergambar jelas sosok nenek-nenek yang ditabraknya.
“Siapa nenek itu?” pikirnya.
Dewa nggak bisa memastikan kalau nenek dan seorang gadis kecil yang ditabraknya masih hidup apa tidak. Ia tidak menemukan mereka di Terowongan itu.
“Gadis itu juga. Siapa dia?” pikirnya.
Pikiran-pikiran lain terus berkecambuk menghantui Dewa. Seperti ada potongan-potongan kejadian di pikiran Dewa. Wajah gadis itu juga masih tergambar jelas di benaknya. Ia berharap polisi tidak menemukan kejadian kecelakaan di Terowongan Casablanca.
Setelah selesai mandi, Dewa segera meluncur ke tempat kerjanya. Tentu saja dengan pikiran yang masih kacau.
###
Rapat sudah selesai ketika Dewa tiba di ruangan. Kehadiran Dewa yang terlambat membuat gadis di depannya mengeluh kesal.