***
Aku Aisyah, setahu ku sewaktu aku belajar di Sekolah Dasar. Aisyah adalah nama salah satu istri Nabi Muhammad, dan beliau adalah wanita terhormat, yang memiliki hati yang baik, wajah cantik, akhlak yang mulia, penuh cinta dan kasih sayang, beliau juga di cintai oleh banyak orang.
Tapi, jangan bayangkan sifat itu ada dalam diri ku. Karna aku ini wanita pendosa, aku buruk, aku jahat, aku sang perokok, aku peminum, aku juga mempunyai tato di punggung ku, aku di benci banyak orang. Aku sangat berdosa! Aku rasa aku juga tidak akan di ampuni.
Saat ini aku tengah duduk di sebuah gang sempit, dengan sebotol alkohol di tangan ku. Aku sadar alkohol dapat merusak tubuh ku, terutama organ hati. Aku tau, tapi aku tetap meminumnya. Kenapa? Karna aku bodoh. Aku payah, aku tidak mencintai hidup ku, bahkan aku membenci kehidupan ini.
"Ahhh, nikmatnya."
Aku hanya bisa merasakan alkohol itu menyapa tenggorokan ku. Aku merasa tenang, dan melayang. Aku terbang haha!
Pranggg!!!
Aku melempar botol itu saat aku sadar isinya sudah habis. Benar, saatnya memalak orang. Aku sudah kehabisan uang. Haha! Tepat sekali di sana ada mangsa, aku melihat tiga gadis muda baru pulang sekolah. Dengan hati bahagia, dan setengah sadar aku mendekati mereka.
Hap!!!
Tanpa ragu aku merampas HP para cabe-cabean itu. Cuih! Aku benci mereka, dari seragamnya mereka hanya anak SMP tapi pegangannya sudah aipon. Apa lagi kalau tidak memaksa orang tua mereka membelikannya? Dasar beban!
"Kasih gua uang seratus ribu, atau aipon kalian ga balik?" Aku berjalan penuh gaya mengelilingi tiga gadis ini. Aku bisa melihat dengan jelas, mata mereka yang penuh ketakutan. Dan aku sangat menikmati setiap deru nafas tak tenang itu. Keringat mereka sudah bercucuran, aku yakin mereka sudah ketakutan setengah mati.
"Eh oke kak, kita bakal kasih kakak seratus ribu." Kata gadis di tengah itu, dia yang paling cantik, dan sepertinya dia yang paling kaya, bergaya, dan kemungkinan dia adalah bosnya. Bukankah sudah biasa? Satu bos? Dan dua lagi babu bodoh?
Dia mengulurkan uang kertas berwarna merah itu. Aku menaikkan sebelah alisku, menatap dingin mereka. Mereka diam membatu, seolah baru saja tersengat listrik.
"Apa aku pernah bilang satu lembar? Aku mau lima lembar." pinta ku tak tau malu. Malu? Apa itu? Persetan dengan semua itu.
Gadis di tengah itu membuka tasnya, mengambil sisa uang yang kuminta. Jujur, aku cukup terkejut anak seusianya memiliki uang sebanyak itu.