TURBULENCE

Annisa Dewi Maharani
Chapter #1

PROLOG

Prolog

London, 2029

“Tuliskan saja apa yang kau inginkan setelah ini,” Ucap Auer tanpa menatap. Tangan kidalnya aktif menulis.

I know,” balasku yang tak seantusias dirinya. “Tapi,” fokusku terpecah, “pakai Bahasa apa?”

Auer ikut menghentikan aktifitasnya. “Who cares, Flo. Nggak ada Profesor yang akan menilai apa yang kau tulis.”

Aku iri dengan Auer. Bagaimana bisa ia bisa selancar itu menulis apa yang ada di kepalanya. Entah apa yang ia tulis, yang jelas itu berbahasa Jerman. Apa tentang kehidupan yang sedang ia jalani? Mimpinya? Rencana masa depannya? Apa aku perlu meminta saran darinya? Tidak. Itu akan mengganggu konsentrasinya. Ia akan lupa apa yang akan ia tulis selanjutnya, dan ia akan mengumpat dengan bahasanya, “Du Lauch!” yang berarti daun bawang.

Aku masih menatap kertas berukuran A4 berwarna hijau yang menjadi wadahku menulis. Auer yang memilihkannya untukku ketika kami berebut mengambil kertas di ruang pertemuan. Sedangkan Auer, ia menggoreskan tinta biru di atas kertas oranye.

I’m done,” pekik Auer. Ia kini mulai melipat kertas menjadi dua, lalu ia melipat menjadi bentuk segitiga di sisi atas kertas, melipatnya lagi menyerong di masing-masing sisi dengan telaten dan cepat, pesawat kertas oranye buatan Auer telah jadi, dengan coretan tangannya yang menjadi motif di badan pesawat. Dan aw, aku melihat namaku tertulis di antara paragrafnya.

“Apa yang kau tulis?” tanyanya penasaran. Mata hazelnya berbinar. Jari-jari panjangnya mengetuk-ngetuk meja.

“Hmmm…” gumamku sambil mengusap dagu seolah-olah tengah berpikir keras. “I hope you can become a great psychiatrist when you return to your country, and I hope we can meet again someday.”

Ia memicingkan matanya, seolah berkata, “Yang benar saja? Aku tak percaya.”

Aku hanya tersenyum, bergegas menuntaskan tulisanku dan segera melipatnya menjadi pesawat kertas khas buatanku.

“Alraight everyone! It’s time!” terdengar suara laki-laki melalui pengeras suara.

Lihat selengkapnya