TURBULENCE

Annisa Dewi Maharani
Chapter #2

2004 - My Perfect Family

Hidup itu seperti perjalanan dari Balikpapan ke London. Transit di Jakarta dan Singapore, dua puluh empat jam, berpindah maskapai, berlika-liku di udara, namun sampai di tujuan walau merasakan jet lag. Seperti itulah hidupku selama dua puluh empat tahun. Bedanya, aku merasakan turbulensi yang hampir membuatku jatuh, karena aku bukan pilot yang handal. Tak ada orang lain yang menduduki kursi co-pilot, maupun flight attendants, karena tak ada penumpang yang mau ikut terbang bersamaku di pesawatku yang banyak dedelnya. Mereka takut akan jatuh bersamaku, atau bahkan mereka tak bisa memperbaikiku.

Aku pernah menjadi penumpang di sebuah pesawat yang sempurna. Ayahku adalah pilot yang mumpuni, ibuku sebagai co-pilotnya. Ketika ayahku sedang sibuk, ibu akan mengambil alih “Yoke”, ia bahkan bisa menjadi pramugari sekaligus. Mereka mampu membawaku dan kakakku terbang di pesawat yang tak goyah, yang kami sebut keluarga.

Kata orang, keluargaku sempurna. Ya. Memang benar. Aku tak menyalahkan perspektif mereka. Aku tebalkan, perspektif.

---

2004

Aku merengek di barisan depan. Di hari pertamaku masuk taman kanak-kanak. Aku sebenarnya pemberani. Kalau aku sedang bermain rumah-rumahan, aku adalah kepala keluarganya. Kalau aku sedang bermain bertema kerajaan, aku adalah ratunya. Aku tidak takut ditinggal ibuku di hari pertama aku sekolah. Aku suka dengan seragamnya. Atasan putih pada umumnya, dengan rompi biru tua sebagai luaran, dengan bawahan warna senada dengan rompi. Hanya, aku tak suka menggunakan rok.

Biasanya sebelum masuk ke dalam kelas, anak-anak akan berbaris di halaman. Belajar berdiri tegak, lencang depan, dan belajar dijemur di bawah matahari.

“Ayo. Kalau menangis tidak boleh masuk kelas,” ucap Bu Eni, membuatku menutup mulutku dengan tangan kananku meredam suara. Namun, air mata tetap mengalir, hanya suara yang berasil reda bukan tangisanku.

“Anak perempuan harus pakai rok, ya. Yang pakai celana harus laki-laki. Tapi, setiap hari Jumat, baru kita memakai seragam olahraga, yang semuanya pakai celana.” Suara Bu Eni sangat khas. Lantang, namun dengan nada yang ceria.

Hanya ada dua guru waktu itu, berusaha sabar mengajar lima belas anak yang punya karakter berbeda-beda. Bukan hanya aku yang menangis, tak semua anak mau berbaris dengan tegak mengikuti arahan. Para guru TK hanyalah orang-orang terpilih menurutku. Orang-orang yang punya kesabaran luas menghadapi anak yang terkadang suka tantrum sesuai suasana hatinya. Bu Galih adalah kepala sekolahnya. Hingga umurku dua puluh tahun, ia masih sehat bugar untuk mengajar. Aku pernah berkunjung ke sekolah pertamaku itu, yang aku tak menyangka bahwa beliau masih mengingatku. Hanya Bu Eni yang berhenti sejak kehamilan ketiganya, tiga tahun setelah aku lulus. Kami berbincang banyak sambil membantu mereka menggunting kertas lipaat warna-warni untuk bahan ajar besok.

Sejak saat itu, aku dikenal sebagai Flora yang tak suka pakai rok oleh anak-anak lain. Yang pastinya menjadi bahan olokan saat itu. Bukan hal yang buruk. Namun pasti berhasil membuat anak TK menangis.

“Kalau Ibu panggil namanya, kalian angkat tangan, ya.”

Satu persatu nama teman-temanku dipanggil. Wajah mereka semua tampak asing. Polos, tak ada jerawat, tak ada kerutan, tak ada wajah penuh tekanan pekerjaan, tekanan hidup, hanya pikiran tertekan takut disuruh membaca tanpa mengeja.

“Flora Livia Kamesa.” Aku segera mengangkat tangan dengan semangat sambil menyaut, “Saya, Bu. Flora Livia Kamesa, lima tahun.”

Sudah aku katakan aku tak takut hari pertama sekolah. Hanya aku yang berani membalas panggilan Bu Eni. Ibuku mengintip proses pembelajaran bersama para ibu-ibu lain yang harus menampakkan wajah agar anak-anak mereka tak menangis.

“Sekarang kita belajar membaca, ya.” Bu Eni baru selesai menulis, aku langsung mengangkat tangan.

“Ibu pergi ke pasar,” ucapku lancar, membaca tanpa mengeja.

“Bagus, Flora,” puji Bu Eni membuatku samakin besar kepala.

Minggu kedua, giliran belajar menulis di papan tulis.

Lihat selengkapnya