TURBULENCE

Annisa Dewi Maharani
Chapter #3

2008

2028

Aku duduk di kursi paling belakang ketika pelajaran History of English Literature and Culture baru selesai. Tak ada orang. Hanya aku. Menggenggam kuat sisi kertas ujianku. Kuhembuskan napas panjang dengan kasar, disusul kubanting kertas di atas meja. Jantungku berdebar setiap kulihat huruf B- di pojok kanan atas kertas ujianku. “Tidak ada Matematika, tapi kini pelajaran sejarah menjadi musuh utamaku,” batinku. “My Mom would kill me if she found out.”

2008

Di sekolahku, naik ke kelas empat adalah sebuah mimpi buruk. Benar-benar sebuah ketakutan bagi anak-anak kecil seperti kami, namun sebuah keharusan.

“Jadi, siapa wali kelas kita?” Semua murid berbisik, mengulang pertanyaan yang sama, “Siapa?” ketika Ayu, ketua kelasku, baru saja kembali dari ruang guru untuk mengambil buku absen baru.

Ia tak langsung menjawab. Wajah manisnya gusar. Ia menggaruk kepala membuat rambut hitam pendeknya berayun-ayun. Ia menjawab pertanyaan kami dengan raut wajahnya. Semua murid, jumlahnya ada dua puluh dua, semuanya, benar-benar semuanya mendesah frustasi. Bak Voldemort yang namanya tak boleh di sebut karena bisa membuat merinding. Pak Sihombing, sama jahatnya. Mungkin kami juga akan menyamarkan namanya dengan memanggilnya ­you-know-who.

Ia pria batak berkulit cukup gelap, kumis di atas bibirnya setebal rambut ikalnya. Tubuhnya tinggi masih bugar. Kira-kira umurnya dipertengahan tiga puluhan waktu itu. Energinya sangat kuat, membuat hawa di sekitarnya mendadak dingin. Kami sebagai murid lebih memilih jalan memutar jika hendak berpapasan dengannya. Matanya tajam seperti elang, siap memburu anak-anak ayam yang tak diawasi induknya.

Mungkin sedikit berlebihan ketika murid sekolah dasar merasa tertekan. Dari TK hingga aku kelas tiga, semua wali kelasku membawa suasana ceria. Tidak ada ketegangan, kami sering bernyanyi untuk menghilangkan kantuk. Namun, di kelas empat ini, di kelas kami bahkan tak boleh terdengar suara cetekan pulpen, suara pensil jatuh, apalagi suara anak-anak yang berbicara.

Ada mantra yang selalu kami rapalkan setiap jam pelajaran Pak Sihombing yang sehari bisa dua kali pertemuan. Setiap ia mulai berkeliling mengawasi kami, aku selalu membatin, “Aku adalah batu. Aku adalah batu.” Mantra yang bisa membuat kami bisa duduk tegap fokus pada pelajaran.

Beberapa waktu lalu teman satu bangkuku saat itu, Erwin, mengirimiku pesan di Instagram. Kami banyak berbasa-basi, bernostalgia, hingga kami tiba di pembicaraan masa kanak-kanak kami. Ia bercerita, “Hanya karena lupa bawa topi saat upcara, aku ditampar dengan kuat di depan ruang guru. Aku nggak sendirian, ada Odi, dia lebih parah. Dia ditendang dan di jambak.”

Kami tertawa. Obrolan benuansa nostalgia tak akan mati. Ia bertanya kembali kepadaku apa hukuman yang pernah aku dapatkan dulu. Hal itu membuatku berhenti sejenak, berpikir kesalahan konyol apa yang membuatku sampai dihukum. Tak banyak. Aku hampir sama sekali tidak pernah dihukum. Aku bintang kelas, kau ingat itu.

Aku anak yang taat pada aturan, membuat para guru menyukaiku. Bukan karena senang dipuji, I’m not an apple polisher—aku bukan seorang penjilat. Aku hanya takut dengan hukuman.

Dari awal aku selalu membual betapa jeniusnya aku. Tapi karena masih terlalu muda untuk bekerja keras, aku pasti pernah merasakan yang namanya penat. Orang tuaku tidak mengurungku di rumah 24/7.  musim ujian semester, selama satu minggu full kami tidak diperbolehkan bermain, dilarang menonton televisi dan harus pulang dengan nilai yang sempurna. Di setiap sekolah pasti punya kriteria ketuntasan minimal atau KKM. Di kelasku setiap mata pelajaran dinyatakan lulus jika nilai para murid adalah 65 ke atas. Namun, di rumah ibuku punya KKM-nya sendiri.

Plak!

Satu tamparan tepat di pipiku. Aku sangat ingat betapa sakit dan takutnya aku waktu itu. Kelas empat bukan hanya hal yang menakutkan di sekolah, begitu pula di rumah.

“Ibu sudah capek-capek ajarin kamu tapi kamu cuma dapat nilai 75!”

Seragamku masih lengkap kupakai. Tas ranselku tergeletak tak jauh dari temapatku berdiri dengan isi yang terburai. Buku paket dan buku catatanku semua kusut karena diremas oleh ibuku. Ibuku mencecarku dengan lembar ujian Matematika milikku di tangannya.

“T-tapi itu di atas KKM, Bu,” kilahku nyaris tak terdengar, berharap belas kasih.

Kuremas kuat ujung rok merahku, melampiaskan rasa pana di pipi kananku.

“Iya itu menurut guru kamu! Ibu bilang kan nilai kamu harus minimal 80!”

Aku akan semakin diterkam jika aku menjawab lagi. Kulirik di balik gorden. Kakakku mengintip di baliknya. Wajahnya tak tampak semua. Namun bagiku ia sedang mengejekku. Ulangan semester ganjil ini pasti nilainya sempurnya.

Lihat selengkapnya