TURBULENCE

Annisa Dewi Maharani
Chapter #4

2009 - Our Dreams

Ayahku pernah berkata, aku adalah seorang pemimpi. Bukan hanya sekedar menghayal, tapi hampir setiap profesi di dunia ingin kucoba. Bahkan aku pernah berdoa rutin lima waktu agar aku punya kekuatan super dan bisa terbang untuk membela kebenaran saat aku berusia enam tahun. Bahkan capung tak luput dari keinginanku ketika aku terkena diare dan tak sengaja pup di bangku sekolah dasar. Namun kini hanya ada satu keinginanku.

2009

Aku berjalan seorang diri dengan tas punggung yang cukup berat. Pelajaran IPA kelas lima cukup banyak, membuat buku paketnya paling tebal diantara mata pelajaran lainnya. Kuusaap kutikula jari-jariku dengan gusar. Aku berjalan setengah menunduk, tak terasa aku sudah sampai di depan SD tetangga dimana Kasim dan Andaro sekolah. Biasanya sekolahku lebih cepat pulang, membuatku duduk di depan pagar sekolah SDN 030 yang masih tertutup.

Teng! Teng! Teng!

Bunyi lonceng sebanyak tiga kali, pertanda jam pulang sudah tiba. Berbeda dengan sekolahku yang lebih dulu mengunakan bel yang suaranya berbunyi ‘Teet’ panjang dan sangat berisik. Gerbang sudah terbuka, mataku liar menatap setiap anak yang keluar.

“Eh, anak SD 028, nih,” ucap anak laki-laki yang tak kusadari sudah berada di belakangku. “mau apa kamu kesini?”

Aku menoleh sesaat, namun kuabaikan anak laki-laki menggunakan seragam batik dengan nama ‘Burhan’ terbordir di dada kanannya. Biasanya anak-anak berandalan sok berani tidak pernah berjalan sendirian. Selalu saja ada minion yang setia menjadi budak mereka.

“Kalau ditanya jawab! Berani-beraninya kamu datang kesini? Mau cari rebut, ya?” tuduhnya. Burhan menggunakan topi yang dimiringkan, menutupi kepala pitaknya. Tubuhnya paling tinggi di antara dua anak buahnya yang gemuk.

Tiba-tiba Burhan datang mendekat, hendak menarik lengan baju seragam putihku.

“Woi!” bak pahlawan di kebanyakan sinetron, suara Kasim terdengar lantang dari dalam sekolah. “Berani kamu ganggu bubuhan-ku?”

Tubuh Burhan seketika menyusut saat Kasim ada di depannya, menjadi penghalangku dan dia. Jelas Kasim lebih tinggi, dan lebih berkuasa. Bagaimana tidak, Kasim yang seharusnya sudah lulus SD dua tahun lalu, namun dia masih betah duduk di kelas lima. Sedangkan Burhan, mungkin dia lebih tinggi dariku, tapi dia baru kelas tiga.

“Pergi sana,” husir Kasim lalu menarik lenganku agar segera menjauh dari gerbang sekolah.

 

“Kamu kenapa tunggu di depan gerbang? Kamu tahu, kan, sekolah kita nggak pernah akur?” tanya Kasim yang sibuk menjagaku ketika aku berusaha menyeimbangkan tubuh berjalan di atas pembatas antara jalan dengan parit besar.

“Kita sudah lama nggak pulang bareng,” jawabku sambil melompat saat sudah berada di ujung dinding pembatas yang rendah.

 “Jangan lompat! Rokmu terbang-terbang,” omel Kasim yang hendak menangkapku.

“Aku, kan, pakai celana pendek, lho,” tukasku kesal. “Kita pulang lewat jalan jauh, ya.”

“Kenapa kamu nggak tunggu aku di tempat biasa? Jauh dari gerbang sekolahku dan kamu nggak diganggu sama teman-temanku?”

“Mereka teman-temanmu? Semejak kita nggak main bareng lagi sekarang kamu bergaul sama anak-anak nakal?”

“Kamu emang nggak dicari mama kamu?” Aku tak langsung menjawab. Kutinggal ia di belakang. Aku berbalik, menggelengkan kepala sambil mengedikkan bahu.

Sebenarnya aku pulang lebih cepat hari ini. Tidak ada pelajaran seperti biasa karena tiga mata pelajaran hari ini mengadakan ujian harian dadakan.

Kasim berlari untuk menyamakan langkah kami. “Kalau mama kamu tahu kita pulang bareng, habislah kita.” Ia menarik tali tas ranselku, lalu mengendongnya di punggungnya. “Ah, tasmu selalu berat.”

“Dan kamu selalu nggak bawa tas,” balasku. “Kita bisa pisah jalan di depan gang. Aku jalan duluan, baru kamu nyusul.”

Kami berjalalan pulang lebih jauh, sesuai permintaanku. Kami melewati jalan setapak yang di kanan-kirinya kebun salak. Kasim selalu dengan hati-hati mencongkel satu atau dua buah salak. Ia akan berteriak sambil melompat-lompat kalau jarinya tertusuk durinya.

“Hei! Siapa itu?” pekik pemilik kebun, lalu kami berlari kencang sambil tertawa.

Hingga akhirnya kami tiba di playground yang sepi di kampung sebelah. Kami duduk di ayunan yang jumlahnya pas untuk kami berdua. Kasim meletakkan tas ranselku di samping jungkat-jungkit.

“Kakakmu nggak pulang bareng kamu?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menggeleng. “Kamu suka, ya, sama dia,” tuduhku.

“Nggak, ah,” bantahnya setengah memekik.

Aku hanya tertawa, sedangkan Kasim hanya menunduk. Papan ayunannya tak terlalu tinggi, namun aku masih berjinjit agar bisa menyentuh tanah yang lempung. Kudorong ke belakang ayunan dengan pelan.

Sudah hampir setahun aku dan Kasim bermain dengan sembunyi-sembunyi. Biasanya hampir setiap sore kami ke taman ini untuk bermain kelereng dengan anak-anak perumahan tetangga. Sejak pertengkaran ayah dan ibuku, disusul pertengkaran orang tuaku dan Kasim, kami sama-sama dilarang bermain lagi. Kakakku sangat patuh pada ibuku. Glo suka mengadu pada ibuku. Tak boleh bermain terlalu jauh, tak boleh pulang lebih dari jam empat sore, langsung pulang ke rumah saat pulang sekolah, tak boleh bergaul dengan anak-anak yang kurang pintar, membuat Glo hampir tidak punya teman.

“Glo ada tugas kelompok. Katanya kalau sudah kelas enam, pasti akan banyak tugas dan ujian,” jelasku.

Lihat selengkapnya