TURBULENCE

Annisa Dewi Maharani
Chapter #5

2009

2027

Aku takut ketinggian, dan naik pesawat bukan salah satu yang masuk ke dalam whist list-ku. Teman-temanku pernah menceritakan bagaimana pengalaman buruk mereka saat pertama kali naik pesawat. Ada yang berdebat dengan seorang ibu-ibu karena ia meminta bertukar seat dengan temanku yang duduk di samping jendela, ada yang duduk berhimpitan dengan laki-laki bertubuh gempal, hingga suasana tegang karena ada masalah mesin di kabin pesawat.

Namun pengalamanku ini akan kupamerkan kepada teman-temanku. Bagaimana tidak, awalnya aku ingin membatalkan penerbangan karena aku mendapatkan seat di dekat lavatory. Namun tiba-tiba pramugari cantik dengan tubuh semampai dengan lembut memintaku untuk mengikutinya dengan membawa semua barang-barangku. Aku tentu tak membantah, karena aku pikir aku telah salah masuk kabin.

Namun, saat pramugari bernama Cantika itu memintaku untuk duduk di kursi firs class.

“Nggak mungkin, Mbak. Saya booked untuk kelas ekonomi.” Aku tak akan sanggup jika di akhir nanti mereka akan mengenakan biaya tambahan.

Dengan tersenyum ia menjelaskan kalau tiketku telah di­-upgrade. Aku menggaruk tengkukku canggung. Tersenyum malu saat duduk, menutupi rasa bahagiaku. Aku berpikir apa karena delay pesawat Singa ini menjadi baik?

Perjalanan Balikpapan-Jakarta hanya satu jam lebih. Sayang sekali aku harus merasakan kenikmatan ini hanya sebentar. Aku sibuk mengeluarkan buku-buku catatanku. Aku sudah berniat akan belajar selama penerbangan ketika kudengar suara ding dong. Pilot announcement yang menandakan kami akan segera berangkat.

Selamat siang para penumpang yang terhormat, sebelum berangkat mari kita berdoa bersama untuk keselamatan perjalanan sampai ke tempat tujuan…”

Aku tak terlalu mengihraukan, karena itu hanyalah basa-basi penyambutan agar para penumpang tahu siapa yang mengendarai pesawat.

“… dengan saya Kapten Kasim Hasubllah, selamat menikmati penerbangan ini bersama kami.”

Aku berhenti menulis seketika. Jantungku berdebar mendengar kalimat terakhir sang pilot. Aku ingin memastikan, namun aku tak mendengar suara apapun hingga suara dari pengeras suara terdengar lagi.

Good afternoon ladies and gentleman, welcome to *** Indonesia. This is your First Officer Kasim Hasbullah speaking from the flight deck.”

Aku terkesiap, menutup bibirku yang terus bergumam. “No way!”

               

2009

“Terus, kamu mau jadi apa nanti?” tanya Kasim sambil berayun pelan.

“Arsitek,” jawabku dengan bersemangat.

Itu adalah mimpiku yang kesekian. Ayahku pernah berkata, aku adalah seorang pemimpi. Aku belum bisa membedakan antara hobi dan cita-cita. Nilai mengarangku selalu bagus, aku selalu dapat pujian dari Ibu Nur, guru Bahasa Indonesia-ku. Aku ingin menjadi seorang penulis. Aku selalu menulisnya di sebuah kertas. Aku ingat tentang cerita pendek ciptaanku tentang Thomas dan Beruang Hutan.

Menceritakan tentang Thomas, seorang pemburu yang tak sengaja bertemu anak beruang yang bergetar di samping tubuh induknya. Beruang kecil itu kemungkinan kelaparan, dan sang induk, menurut asumsi Thomas mati karena gigitan binatang buas yang ia pikir adalah seekor harimau. Tanpa berpikir panjang, Thomas mengadopsi dan merawat anak beruang hingga ia tumbuh besar dan jinak. Hingga suatu hari Thomas kembali ke hutan dimana mereka bertemu untuk berburu rusa. Ia tak mendapat buruan hingga malam hari. Terpaksa, Thomas mendirikan tenda. Malam semakin larut, Thomas terbangun mendengar suara dengkuran yang keras. Thomas dalam mode awas, karena ia hapal benar suara harimau. Ia tak berani keluar tenda apalagi suara berisik di luar membuatnya sangat ketakutan. Tak lama, suasana hening. Thomas akhirnya memberanikan diri untuk mengecek keadaan sekitar setelah ia memastikan aman. Tak disangka, disana ia menemukan bahwa beruang peliharaannya berhasil menguliti harimau yang mengincar Thomas.

Lihat selengkapnya