Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #1

Pintu yang Tak Bersalah

Banyumas, 1987.

Kalau saja pintu kamar dapat berbicara, mungkin sudah protes sama Darinah. Biarpun Darinah seorang wanita, tetapi entah kenapa tangannya begitu kuat. Saat dia menutup pintu selalu menghasilkan dentuman keras. Apalagi kalau sedang marah begini.

Kemungkinan penyebab Darinah bersikap seperti itu karena aku sering duduk di lincak. Kebetulan lincaknya memang berada tepat di depan pintu kamarnya. Jadi, acapkali dia mau ke kamar, terpaksa harus melihat mukaku terlebih dahulu.

Sebenarnya kamar Darinah adalah kamarku juga. Mengingat beberapa minggu yang lalu aku sudah sah menjadi suaminya. Namun, nasibku memang malang. Aku seperti suami yang tidak dianggap.

Kupikir Darinah sebenarnya hanya terpaksa mau menikah denganku. Dari tatapannya, aku bisa menebak dia tidak suka melihat wajahku yang kurang tampan. Sebenarnya wajahku terlahir normal seperti manusia pada umumnya. Akan tetapi, beberapa jerawat batu suka tumbuh sembarangan di wajah ini. Terkadang orang jadi takut melihat tekstur kulit wajahku yang tidak rata.

"Dar, mau sampai kapan kamu begini? Aku ini suamimu, loh." Sudah tujuh kali pintu kamar kuketuk. Darinah tidak kunjung menyahut.

Sebenarnya bisa saja kudobrak pintu yang terbuat dari kayu mahoni tersebut, bukan perkara sulit. Akan tetapi, menumpang di rumah mertua cukup membuatku sadar diri. Aku masih orang asing di sini.

"Masih belum dapet pintu, Mas?" tanya Haryati, adiknya Darinah. Kebetulan anak itu sedang melintas membawa segelas kopi di atas nampan hitam.

Biarpun bersaudara, tetapi mereka tidak mirip. Darinah bermuka bulat, berkulit sawo matang mirip dengan ibunya, Nariyem. Sedangkan Haryati lebih mirip ayahnya, Darsono. Wajah Haryati oval telur, kulitnya kuning langsat.

Sejak aku resmi menjadi suami Darinah, Haryati lah yang selalu melayani segala keperluanku di rumah ini. Istriku sendiri boro-boro melayani. Melihat wajahku saja dia selalu menghindar.

"Terima kasih banyak, Har. Kopinya aku minum, ya." Kuraih kopi buatan Haryati dari atas nampan. Hampir saja, kopi yang baru kusesap tersembur keluar. Rasanya aneh, lain dari biasanya. Dengan tidak nyaman, tetap kutelan demi menghargai gadis berkepang dua itu. Namun di luar dugaan, aku malah tersedak jadinya.

"Loh, Mas kenapa?" Haryati menanyaiku yang sedang terbatuk-batuk. Ampas kopi seperti tersangkut di kerongkonganku.

"Aku ambilkan air putih. Sebentar." Haryati berlari-lari kecil ke dapur.

Tanpa kusadari, entah sejak kapan ada sepasang mata mengintai. Dua bola mata cokelat indah itu tengah mengintipku. Pintu kamar Darinah terbuka sedikit. Aku pernah menatap lekat-lekat mata indah Darinah saat resepsi pernikahan kami.

Saat menyadari kalau dia tertangkap basah karena sedang mengintip, pintu buru-buru ditutupnya kembali. Bersamaan dengan itu, Haryati datang membawa segelas air putih.

Setelah meminum hampir setengah gelas air yang dibawakan Haryati, tenggorokanku terasa enakan. Tumben sekali kopi buatan Haryati terasa pekat. Kurasa dia juga salah menuang gula. Sejak kapan gula rasanya asin?

"Har, maaf. Kalau boleh kopinya dibawa ke dapur lagi saja, ya. Tenggorokanku sepertinya mengalami gejala radang."

"Maaf, Mas. Sebenarnya itu kopi buatan Ibu. Tadi sebelum berangkat ke kebun, Ibu bikin kopi buat Mas Turi." Haryati berlalu pergi, membawa cangkir putih berisi minuman hitam itu.

Deg!

Ah, persoalan Darinah lebih mendesak untuk sekarang ini. Aku tidak mau berpikir macam-macam hanya karena rasa kopi asin buatan Ibu mertua.

Aku merebahkan tubuh di atas lincak dingin yang kujadikan tempat tidurku selama seminggu ini. Tempat yang sempit dan kurang nyaman untuk ditiduri. Untung saja Haryati yang baik hati ringan tangan memberiku sebuah bantal untuk menyangga kepala.

"Ehem! Tidur di lincak lagi, Nak?" tanya Bapak mertua dalam keremangan cahaya. Lelaki tua itu membawa lampu teplok dan menempelkannya pada sebuah paku yang tertancap pada tiang kayu.

Aku buru-buru bangkit, mempersilakan Bapak mertua untuk duduk di sebelahku. "Belum tidur, Pak?"

"Terlalu banyak minum kopi. Jadi belum ngantuk." Lelaki tua itu berjalan menuju meja tengah. Tangan penuh keriputnya menarik laci yang agak seret, sehingga menyebabkan bunyi berderak. Dikeluarkannya sebuah kotak hitam. Kotak itu berisi bahan-bahan untuk membuat rokok lintingan. "Udara malam ini cukup dingin, bukan? Ayo ngelinting!"

Aku mengangguk sopan. Tawarannya tidak kutolak karena kebetulan tubuhku terasa sedikit menggigil. Aku mulai mengikuti tangan keriput Bapak mertua yang lincah membuat rokok lintingan.

Pertama, pria tua itu menaruh potongan tembakau, cengkeh dan kemenyan di atas kertas papir. Kemudian kami menggulung kertas papir secara bersamaan dan memasukkannya ke mesin penggulung rokok manual berukuran kecil. Setelah jadi, kami bergantian membakar bagian ujungnya.

"Lumayan juga rasanya," pujiku pada rokok lintingan. Ini pertama kalinya aku mencoba. Asap putih mengepul, terbang ke udara.

"Lumayan sedikit bisa menghangatkan badan. Maklum, di sini daerah pegunungan. Jadi lebih dingin dari tempatmu." Bapak mertua terkekeh.

Memang benar, di rumah ini sangat dingin. Udaranya kontras sekali dengan kampungku di Cilacap yang merupakan daerah pesisir.

"Aku minta kamu bisa lebih bersabar lagi menghadapi sikap Darinah, Tur. Dia masih terlalu muda. Semua karena salahku dan ibunya yang tidak pernah memberikan perhatian pada anak itu." Bapak mertua terdiam sesaat. Wajahnya tampak lebih serius.

"Ngomong-ngomong, Darinah sedari kecil dirawat sama neneknya. Dia baru tinggal di sini sejak menikah denganmu." Begitulah cerita Bapak mertua yang sedikit mengisahkan tentang kehidupan istriku.

Lihat selengkapnya