Pagi yang cerah untuk hatiku yang hampa. Aku masih malas-malasan di atas lincak. Tiba-tiba Haryati datang dan menarik tanganku. Rupanya dia ingin membawaku ke kebun samping rumah. Beberapa deret pohon jeruk nipis tumbuh sehat. Buahnya lebat. Hanya saja masih kecil-kecil. Gadis itu berjongkok, mencari-cari buah jeruk nipis berukuran agak besar.
"Aku disuruh bantu kamu cari jeruk, Har?" tanyaku pada gadis berkucir dua yang sibuk mengedarkan matanya ke sana kemari.
Haryati mengangguk-angguk lucu. Usianya baru empat belas tahun. Akan tetapi, kadang tersemat sifat dewasa dalam dirinya.
"Buat apa?" tanyaku lagi.
"Buat kamu, Mas."
"Aku tidak suka minum jeruk nipis. Asam rasanya, Har," protesku tidak setuju. "Lebih baik kita pulang saja. Aku mau ikut Bapak ke sawah hari ini."
"Bukan dibuat minuman, Mas. Tapi buat maskeran di muka. Siapa tahu nanti jerawat Mas Turi bisa mendingan. Nah, Mbak Darinah pasti ngelirik tuh," selorohnya.
Haryati melompat kegirangan saat menemukan bulatan hijau agak kekuningan menggantung di depan matanya. Tingkahnya seperti habis menemukan harta karun saja.
Gadis itu memetik satu demi satu jeruk nipis. Dapat tiga buah. Saat petikan buah terakhir, Haryati mengaduh. "Aw, sakit!"
"Kamu tidak apa-apa, Har?" Agaknya pertanyaanku kurang pas. Bisa kulihat ada baret merah di punggung tangan Haryati. Darah segar muncul pada kulit bewarna kuning langsat itu.
Haryati sibuk mengibaskan tangannya. Meniup-niup luka bekas goresan duri yang terdapat di pohon jeruk nipis tadi. Dia meringis perih.
"Sebentar, aku cari siput dulu!"
Sudah turun-temurun di keluargaku, lendir binatang bercangkang itu dijadikan obat luka luar. Beruntung sekali, aku melihat seekor siput yang menempel pada batu besar, tidak jauh dari tempatku dan Haryati berada. Batu itu ditumbuhi banyak lumut. Agak terasa lengket saat binatang lunak itu kuangkat.
Kuketukkan ujung cangkang ke batu. Lendirnya menetes keluar. Aku buru-buru lari ke arah Haryati, meneteskan lendir bening ke luka gadis berkulit kuning langsat itu. Dia meringis.
"Gimana? Enakan bukan?" tanyaku meniup-niup luka Haryati.
Haryati mengangguk.
"Makasih, ya, Siput. Jasamu tidak akan kulupakan!" ucapku meletakkan hewan bercangkang itu ke tanah.
"Dingin," kata Haryati sembari mengamati lukanya.
"Itu efek lendirnya. Memang sensasinya dingin begitu. Waktu aku kecil sering diobati pakai itu juga. Nanti lukamu akan cepat kering," terangku.
"Tapi mirip sama ...." Haryati terlihat jijik memperhatikan lendir di punggung tangannya.
"Mirip sama ingus maksudmu? Beda kali, Har. Kalau ingus itu rasanya anget." Aku tertawa.
Haryati memasang wajah kebingungan. "Gimana kamu bisa tahu, Mas?"
"Sudahlah tidak usah dibahas. Nanti kamu makin jijik." Aku melempar senyuman. "Eh, ayo pulang! Aku mau ke sawah."
"Ngapain sih, Mas? Mau bajak sawah?"