Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #3

Aroma Lumpur Sawah

Aku menurunkan cangkul. Menelisik di sawah mana Bapak mertuaku berada. Banyak petakan kotak-kotak terbentang di hadapanku. Beberapa petani terlihat sibuk di lahan masing-masing. Ada yang mencangkul, membersihkan rumput-rumput, ada pula yang sedang duduk beristirahat di pematang sawah.

Pandanganku sedikit terganggu oleh cahaya matahari. Namun, begitu aku melihat dari jarak yang cukup jauh, ada seseorang melambai ke arahku. Aku yakin, pasti itu Bapak mertua. Kutelusuri pematang selangkah demi selangkah untuk menyusul Bapak.

"Maaf, Pak, saya agak lama ke sininya," kataku kepada lelaki paruh baya berkaus biru panjang. Kaus yang dikenakannya sudah dipenuhi lumpur hitam.

"Tidak apa-apa. Aku juga belum lama mulai. Kamu bisa mencangkul?" tanya Bapak mertua kepadaku.

"Bisa, Pak." Tentu saja aku sudah cukup akrab dengan alat penggali tanah itu. Di Jakarta, profesiku sebagai tukang kebun tidak jauh-jauh dari mencangkul. "Tapi, saya baru pertama kalinya ke sawah."

"Kamu bisa lihat dan memperhatikan aku dulu." Bapak mertua menggali tanah yang menggumpal. Kemudian tanah yang dicangkulnya ditaruh di atas pematang. Diratakannya tanah basah itu menggunakan kaki.

Awalnya aku agak kaku dan kesulitan melakukannya. Namun, Bapak mertua selalu mengoreksi kesalahanku. Dia memberitahu cara menggali tanah yang benar. Lama-kelamaan aku mulai menikmati pekerjaan ini.

Aroma lumpur sawah mulai mengusik. Teriknya matahari yang tadi masih terasa hangat kian memanas. Saat aku mengayunkan kembali cangkulku ke dalam tanah, ada darah yang bersatu dengan air keruh.

"Pak, sepertinya ada binatang yang terkena cangkul saya." Aku mengadu pada Bapak mertua yang tengah mengelap peluh di kening. Dia langsung menghampiriku. Bapak mertua mengambil alih cangkul yang kupegang.

Bapak berhasil mengangkat potongan tubuh binatang lunak berwarna kehitaman. Kepalanya hampir terputus dari badan. Binatang mirip ular itu mengeluarkan darah cukup banyak, tetapi masih terlihat bergerak. Sedetik berikutnya, tubuhnya sudah kaku.

"Oh, ini hanya belut. Kupikir ular. Tidak apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaanmu!" Bapak mertua melempar bangkai belut ke tepian sawah.

Kata orang tua yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia pertanian itu, akan ada banyak binatang sawah yang bisa ditemui. Selain belut, ada macam-macam jenis keong, ular, katak, belalang dan berbagai jenis serangga lainnya.

"Kamu tahu, Nak, tujuan mencangkul di sawah?" Entah itu sebuah pertanyaan untuk menggali pengetahuan yang kumiliki. Entah orang tua itu memang ingin tahu kalau aku benar-benar tidak mengetahuinya.

"Setahu saya, agar tanah jadi subur, Pak," jawabku sekenanya, sesuai dengan yang pernah aku dengar dan pelajari sewaktu masih menjadi tukang kebun di Jakarta.

"Nah, itu salah satunya. Tapi selain itu banyak manfaat lainnya juga. Pengairan jadi lancar, gulma-gulma pada mati, pemupukan jadi lebih mudah. Saat penanaman bibit pohon padi juga jadi lebih gampang. Belajar sedikit-sedikit saja dulu. Siapa tahu nanti kamu bisa menjadi penerus." Wajah lelaki tua itu merah hitam terbakar matahari.

Menjadi menantu juragan tanah seharusnya istilah yang tepat untukku adalah "seperti mendapat durian runtuh". Namun, buatku ini adalah Turiyan runtuh.

Kabarnya, orang tua Darinah memiliki banyak tanah. Namun, keadaan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda orang kaya. Mungkin saja, pilihan mereka adalah menjalani hidup sederhana.

Selain beban mental yang kupikul karena harus bersabar menghadapi istri dan ibu mertua. Beban fisik pun mulai membayangi. Ternyata bekerja di sawah itu melelahkan sekali.

"Wis kencot wetengku, Har." Aku berdialek Banyumas. Yang artinya, perutku sudah merasa lapar. Haryati sedang mengelap piring-piring di dapur.

"Bilas dulu tubuhmu, Mas. Biar aku siapkan makan siangmu sekalian sama Bapak." Haryati bergegas ke meja makan.

"Ya, aku masih nunggu Bapak selesai mandi di sumur." Sementara asap mengepul dari mulutku. Kalau tidak merokok sehari saja, terasa masam. Tak ada gairah.

Begitu Bapak mertua selesai, aku langsung mengguyur seluruh tubuhku dengan air dingin. Segar sekali rasanya. Kugosokkan sabun batang berulang-ulang agar bau lumpur hilang.

Aku buru-buru merendam pakaian kotorku dengan sabun colek. Di meja makan, Bapak mertua tengah menungguku. Katanya aku disuruh makan bersama dengannya.

Lihat selengkapnya