Sudah seminggu aku rutin membersihkan wajah dengan perasan jeruk nipis. Sensasi perih sudah sangat bersahabat di kulitku. Jerawat batu yang besar-besar dan betah bersarang, kini tampak mengecil. Sudah pada kempis dan mengering. Bukan hanya aku yang merasa senang dengan perubahan ini. Haryati pun kegirangan. Dia terus memuji kulit wajahku.
"Muka Mas Turi bersinar lebih terang," puji gadis itu dengan senyum jenakanya.
"Berkat kamu juga, Har. Terima kasih banyak, ya."
"Ah, Mas Turi. Kayak sama siapa aja." Dia menyikut lenganku. "Harusnya sih, aku dapat hadiah."
"Mau jalan-jalan?" tawarku. "Kebetulan nanti malam ada layar tancap."
Kedua mata Haryati berbinar cerah. "Setuju."
Aku mengamati wajahku sekali lagi di depan cermin. Lumayan membuatku percaya diri. Namun, ada hal lain yang mengganjal. Gigiku yang terlihat maju. Membuatku kembali minder. Bagaimana
Meratakan gigi yang sudah tercipta tonggos begini?
Aku tidak kekurangan akal. Kucari batu gerinda yang digunakan Bapak mertua untuk mengasah sabit. Konon, orang tua zaman dulu juga menggunakan cara yang sama demi meratakan gigi mereka yang tumbuh tidak wajar.
Ketemu. Batu asahan berbetuk persegi panjang itu tergeletak di pojok sumur. Aku memang sering melihat Bapak mertua mengasah benda-benda tajam di teras sumur.
Pertama-tama kugosokkan permukaan batu gerinda di gigiku yang maju. Ada empat gigi seri dan dua gigi taring. Rasanya luar biasa linu. Akan tetapi, aku tetap melakukannya. Tidak terlalu kelihatan hasilnya memang. Mungkin sama dengan merawat wajah menggunakan jeruk nipis. Harus sabar, telaten dan dilakukan secara bertahap.
"Sedang apa, Nak?" tanya Bapak mertua yang tiba-tiba muncul dari belakang. Aku cepat-cepat berkumur.
"Anu, Pak. Habis membersihkan gigi," jawabku gemetaran. Aku takut sekali kalau Bapak mertua tahu aku memakai batu gerinda miliknya untuk meratakan gigi.
Bapak mertua meletakkan dua buah pisau dan satu parang di sebelah kakinya. Bapak mertua berjongkok, memungut batu gerinda yang belum sempat kukembalikan ke tempatnya. Untung saja, dia tidak bertanya untuk apa batu asahan itu dipakai.
"Kenapa masih di situ? Kalau mau membersihkan gigi, kamu bisa mengambil serabut kelapa. Dijamin gigi jadi kinclong," sarannya. Lelaki tua itu mulai melumuri batu gerinda dengan air.
Aku sontak menepuk jidat, memelotot pada benda berbentuk persegi panjang yang sedang digunakan oleh Bapak mertua mengasah pisau. Andai saja dia tahu kalau alat asahan kesayangan miliknya digunakan untuk meratakan gigi olehku. Apakah mungkin aku akan dicap sebagai menantu kurang ajar?
"Tolong ajari saya cara mengasah pisau yang benar, Pak," pintaku spontan saja karena merasa bersalah. Mungkin dengan begini aku bisa sedikit menebus dosa pada Bapak mertua.
Sore hari yang sudah menjelang petang, aku jadi penunggu sumur. Aku masih sibuk mengasah pisau dan parang. Bapak mertua menambahkan beberapa pisau tumpul lagi. Malah ada juga yang karatan. Katanya biar mahir, aku harus belajar yang telaten.
"Owalah, ini sih sekalian minta diasahin semua," gumamku dalam hati.
Haryati ikut berjongkok di sampingku. Gadis itu mengerjap. Dua matanya memerah. Lalu menguap panjang. Mungkin baru bangun tidur.
"Ngapain sih, Mas?" tanyanya mengamati tanganku yang melakukan gerakan searah. Mengasah pisau di atas batu gerinda.
"Belajar ngasah pisau, Har. Eh, Bapak di mana?" Aku memelankan suara. Takut terdengar sama orang yang sedang dibicarakan.
"Lagi duduk di lincak sambil ngopi. Sama biasalah, bikin polusi di rumah. Merokok terus, sudah mirip kereta." Haryati menguap lagi. Menutupi mulutnya. "Oh, jadi yang nyuruh Mas Turi belajar ngasah pisau itu Bapak?"
"Ini kemauanku sendiri, kok. Tapi ngomong-ngomong, tanganku sudah pegal. Boleh berhenti tidak, ya?" Aku berbisik ke dekat telinga gadis berkulit kuning langsat itu.