Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #5

Memetik Kecipir

"Har, film itu terlalu seksi. Kamu belum layak buat nonton. Banyak adegan kekerasannya juga. Kita pulang saja, ya," ajakku. Namun, Haryati malah semakin mendalami isi cerita. Matanya tak mau berkedip. Setiap ada adegan yang mengagetkan, dia menutup mata. Seperti suara letusan pistol atau perkelahian misalnya. Kadang-kadang, dia sedikit mengintip karena penasaran. 

"Tapi ceritanya bagus, Mas " 

"Ya sudah. Aku mau cari kacang rebus sama minuman dulu. Sekalian beli jajan buat orang rumah." Aku berdiri, mengedarkan pandangan. Mencari-cari penjual jajanan. 

Para pedagang yang berjualan di pinggir jalan, pada kehabisan barang dagangannya karena laku keras. Mereka ikut asyik menonton. Setiap kali aku menanyakan apakah jualannya masih, kebanyakan dari mereka menggelengkan kepala. Sudah pada laris manis diserbu orang-orang. 

Aku mendekat pada tukang wedang ronde yang masih melayani pembeli. Kalau di Jakarta namanya sekoteng. Aku membeli dua bungkus. 

"Berapa, Pak?"

"Lima puluh perak."

Aku mengeluarkan dua buah koin bernominal dua puluh lima rupiah. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas pergi. 

"Minum wedang ronde saja, ya, Har. Kacang rebusnya sudah pada habis." Aku duduk kembali di sebelah Haryati. Untunglah daun jati keringnya tertindih oleh senter. Jadi tidak terhempas angin dan bisa kupakai buat duduk lagi. Sedikit sobek memang, tapi tak mengapa selama masih bisa dipakai.

Haryati menubruk tubuhku tiba-tiba. Dia membenamkan wajahnya ke dadaku. Beruntung, wedang rondenya tadi kukaitkan pada setang sepeda terlebih dahulu biar tidak terlalu panas. Kalau masih di tanganku, mungkin sudah pecah dan isinya tumpah semua karena dikagetkan oleh Haryati. 

Aku terdiam, bingung harus bagaimana. Namun, sejujurnya perbuatan Haryati yang satu ini bisa membuat jantungku nyaris meletus. Sama seperti pistol yang ditembakkan oleh pemeran di dalam film layar tancap.

Letusan senjata api dalam adegan itu terdengar lagi. Kali ini Haryati memelukku lebih erat. Membuat jantungku dag-dig-dug saja. Iramanya tidak beraturan.

"Kita pulang saja, Har?" 

"Masih seru, Mas," rengeknya sembari menarik-narik kaus panjang yang kukenakan. 

Sepuluh menit berlalu. Scene berganti adegan panas yang kini dipertontonkan. Dua sejoli sedang memadu kasih di tepi pantai. Para penonton bersorak-sorak. Bahkan, tidak jauh dari tempatku dan Haryati duduk, ada yang hanyut terbawa suasana. Mereka berciuman mesra. Mungkin mereka mengira kebagian duduk paling belakang sendiri. Jadi, tidak ada yang melihat. Padahal, aku dan Haryati berada tepat di belakang mereka. 

Adegan dalam film kian memanas. Sementara Haryati menutupi wajah dengan tangannya. Tingkahnya lucu. Membuatku gemas saja.

"Ngapain coba, Har, mukanya ditutupi tapi kamu tetap ngintip?" Aku menarik tangan Haryati yang terasa dingin.

"Tanganmu dingin banget. Ayo kita pulang!" bujukku untuk ke sekian kali.

Haryati manyun. Dia bersikeras mau nonton sampai selesai. 

"Ya, sudah. Tapi kemarikan tanganmu." Aku mengusap dua tangan dingin itu dan meniupinya. 

Haryati tersenyum senang karena aku menuruti kemauannya, menonton film sampai selesai. Senyum itu teramat mematikan. Gadis itu terlihat cantik sekali. Sekalipun kami berada di tempat yang cenderung gelap. Rona wajahnya yang indah membuatku tidak tahan. Aku memupus jarak di antara kami. Kukecup bibir Haryati. Dia kaget bukan main. Namun, lama-lama matanya terpejam.

Lihat selengkapnya