Seekor serangga dengan larik hitam-kuning berdenging. Berputar-putar di atas kepalaku dan Haryati.
"Jangan bergerak, Har! Tawonnya bisa menggigitmu." Aku melindungi kepala gadis yang sedang menggigil ketakutan.
"Pahit, pahit, pahit," seruku mengucapkan mantra pengusir serangga berbisa itu. Sejauh ini, mantra tersebut cukup ampuh digunakan turun-temurun oleh nenek moyang. Ajaibnya, tawonnya benar-benar pergi.
"Kenapa harus mengucapkan kata pahit, Mas?" Haryati mendongak. Matanya mengandung kepolosan.
"Karena yang manis itu senyumanmu." Aku menarik hidung bangir gadis itu.
"Har, berkat kedekatan kita seperti ini, aku merasa jatuh hati padamu. Kalau bisa aku ingin turun ranjang dan menikah denganmu." Perlakuan Darinah yang tak acuh padaku membuatku jadi begini. Mencari sumber kebahagiaan dari wanita lain.
Aku menarik dagu Haryati. Namun, dia mendorongku keras-keras hingga aku jatuh terduduk di tanah.
"Tidak, Mas. Kita tidak boleh terlalu jauh. Aku takut merasa semakin berdosa sama Mbak Darinah. Buanglah semua kenangan manis kita, Mas. Aku tidak mau mengusik kebahagiaan kakakku sendiri." Gadis itu berlari dengan berderai air mata.
Hatiku terasa cenat-cenut sekali. Aku tahu ini salah. Namun, aku juga sadar bahwa yang kukatakan adalah sebuah kebenaran. Perasaanku menjadi tak keruan. Mungkin aku memang sudah gila. Aku menikah dengan Darinah, tetapi hari ini menyatakan cinta pada Haryati.
Daun-daun kering di sekitarku berguguran disebabkan oleh embusan angin. Tubuhku limbung seperti hampir roboh. Perasaanku terkoyak di hadapan takdir yang harus kulakoni.
Aku meletakkan keranjang berisi daun kecipir berikut dengan kecipirnya di dekat sumur. Namun, karena posisinya agak miring, keranjang yang terbuat dari anyaman bambu itu jatuh. Isinya tumpah dan berserakan ke tanah.
"Kamu sakit, Tur?" tanya Bapak mertua yang baru pulang dari sawah. Disusul ibu mertuaku menenteng rantang di belakangnya.
Bapak mertua menurunkan cangkulnya, membantuku membereskan daun-daun yang masih berserakan.
"Halah, kerja ringan saja manjanya minta ampun," sindir Ibu mertua dengan nada mengolok-olok. Rantang yang masih tersusun dilepasnya satu-satu. Diletakkannya di lantai sumur dengan kasar.
"Sebaiknya Bapak istirahat saja. Saya bisa menyelesaikannya sendiri."
"Kalau ada apa-apa cerita saja, ya, Tur." Seperti bisa membaca apa yang ada dalam hatiku, Bapak mertua menepuk bahuku. Memberi semangat.
Mertuaku benar, aku memang sakit. Bukan fisikku, melainkan mentalku yang semakin runtuh. Mungkin aku terlalu cepat menyatakan perasaanku pada Haryati. Sehingga membuat gadis itu merasa syok.
Setelah perasaanku sudah jauh lebih baik, aku merasa kebingungan saat hendak mencari gula dan kopi. Karena biasanya yang selalu membuatkannya adalah Haryati. Hingga malam hari datang, gadis itu tak tampak lagi batang hidungnya.