Turiyan Runtuh (Bukan Durian Runtuh)

Ais Aisih
Chapter #7

Anak yang Tak Dianggap

"Pak, Pak. Anak gadis kita satu-satunya jadi betah di kota. Bagaimana kalau dia kepincut sama bujang kota?" Mbak Nariyem alias ibu mertuaku tampak sedang membelah bambu kering untuk dijadikan bahan bakar di tungku. Sementara suaminya sedang menggosok pantat panci hitam di dekat sumur.

"Mulutmu kalau ngomong jangan sembarangan begitu. Kamu bilang anakmu cuma Haryati satu-satunya? Darinah kamu anggap apa? Dia juga lahir dari rahimmu, Nar. Kamu harus ingat itu! Sudah belasan tahun kamu membuang darah dagingmu sendiri. Tidak takut kena karma kamu, hah?" Suara Bapak mertua terdengar agak serak karena berteriak.

"Oalah, Pak, Pak. Ibuku yang meminta anak itu buat menemaninya. Jadi, jangan salahkan aku."

"Tapi mana ada ibu yang tega menyerahkan anaknya sendiri untuk dirawat orang lain? Sekalipun dia dirawat neneknya sendiri. Aku tidak pernah setuju. Darinah maupun Haryati anak kita. Mereka punya hak yang sama, Nar." Bapak mertua membersihkan tangannya yang penuh jelaga. Lelaki itu menendang panci yang tadi dielus-elusnya. "Kamu bersihkan sendiri panci hitam itu!"

Bapak mertua keluar melalui pintu belakang. Aku yang berniat mengambil korek di dapur menjadi urung. Aku berdiri di balik pintu tengah sedari tadi. Saat aku membalikkan badan, ternyata ada Darinah di belakangku, air matanya meleleh. Tentu saja pertengkaran kedua orang tuanya pasti terdengar amat menyakitkan baginya.

"Kamu tidak apa-apa, Dar?" tanyaku pada Darinah yang mengelap bekas air mata di pipi. Aku bisa melihat kecemasan di dalam lensa hitam istriku. Rasa ibaku muncul begitu saja. Kasihan sekali dia, ternyata Darinah memiliki kisah hidup yang amat malang.

Darinah menggeleng. "Sudah biasa, Mas."

Aku menggiring Darinah pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Kutawarkan dia segelas air agar pikirannya menjadi jernih. Syukurlah dia mau meminumnya hingga gelasnya kosong.

"Itulah salah satu alasanku kenapa aku sering berada di kamar, Mas." Kedua netra itu menggenang lagi.

"Ya, ya, Dar. Aku paham bagaimana perasaanmu. Bagaimana kalau kita pisah rumah saja dari kedua orang tuamu?" Ide itu tiba-tiba tercetus sendiri. Sementara aku saja tidak yakin apakah tabunganku cukup untuk membangun sebuah rumah. "Tapi dengan syarat, kamu tidak boleh menuntut banyak hal."

Darinah manggut-manggut.

"Tapi, Dar. Aku tidak punya tanah di Cilacap. Kalau untuk membangun rumah sederhana mungkin tabunganku cukup. Tapi mau bangun di mana?"

"Pekarangan yang banyak ditumbuhi pohon jeruk nipis itu punya nenekku. Kita bisa bangun rumah sederhana di sana. Nenek sudah mewariskan tanah itu kepadaku." Ada harapan indah terukir pada netra milik Darinah. Sungguh, aku takut memupusnya.

"Itu berarti pohon jeruknya harus dibabat habis semua?" tanyaku, membuat alis Darinah terangkat.

"Kalau soal itu kita bisa menanamnya lagi. Oh, aku tahu. Mas ini takut kalau tidak bisa luluran pakai jeruk nipis lagi 'kan? Tenang saja, Mas. Kita bisa membelinya di pasar." Darinah antusias meyakinkanku.

Bukan. Bukan sekadar perkara melenyapkan pohon-pohon itu, Dar. Namun, ada banyak kenanganku bersama Haryati di sana. Berarti sama saja kenangan itu harus dienyahkan dari hidupku, aku membatin dalam hati.

***

Aku dan Darinah menghadap Bapak dan Ibu. Kami membicarakan niatan untuk membangun sebuah rumah.

"Sekadar rumah gubuk, Pak, Bu. Yang penting cukup buat berteduh," kataku sesantun mungkin.

"Baguslah, orang kalau sudah berumahtangga memang harus punya rumah sendiri." Nada bicara Ibu mertua terdengar sinis seperti biasa. Jelas sekali, kalau wanita paruh baya itu ingin menyingkirkan kami berdua.

"Ngomong apa kamu? Sudah sana, kamu pergi ke dapur!" titah Bapak pada sang istri.

Lihat selengkapnya