Aku yang telanjur bicara keceplosan akhirnya harus membuka semuanya di depan Darinah. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Bukankah sebagai pasangan suami-istri memang begitu seharusnya? Harus saling terbuka satu sama lain? Aku menceritakan semua yang terjadi antara aku dan Haryati.
Ketika aku sudah siap setidaknya mendapat sebuah tamparan keras di pipi, sungguh di luar dugaan, ternyata Darinah amat bijak dan dewasa.
"Apa yang terjadi antara kami dan Haryati semua murni salahku, Mas. Aku penyebabnya. Kalau saja dari awal aku bisa bersikap baik padamu, mungkin tidak ada kejadian semacam itu." Darinah meloloskan napas. "Tapi bagaimanapun juga, Haryati hanya seorang bocah lugu. Dia baik dan pengertian padaku, baik pula padamu. Aku tidak membencinya."
Ajaib sekali melihat tanggapan Darinah seperti itu. Kupikir tadi aku akan jadi sasaran amukan kemarahannya. Bagaimana bisa dia setegar itu? Bukankah di mana-mana kalau seorang suami bermain cinta di belakangnya, istri akan murka? Normal tidak dia itu sebenarnya?
"Maafkan aku, Dar. Aku benar-benar khilaf dan terlena."
"Sudahlah, Mas. Aku tahu, kamu membutuhkan sosok seorang perempuan yang bisa menyayangimu layaknya seorang ibu. Haryati hanya pelampiasan. Itu karena kalian sering bersama. Witing tresno jalaran soko kulino (cinta datang karena terbiasa). Tangan Darinah sibuk mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di halaman.
Pelampiasan? Aku tidak tahu apa betul perasaanku pada Haryati hanya sebagai pelampiasan semata. Namun, yang aku tahu perasaanku terhadapnya begitu besar. Begitu dalam.
"Kamu tidak merasa cemburu? Aku sama dia sampai ciuman segala loh, Dar." Aku terus mendesak Darinah. Setidaknya agar aku tahu dia menyimpan rasa untukku atau tidak.
"Mas sendiri yang bilang kalau semua terjadi karena suasananya mendukung. Oh, apa Mas mau lihat aku marah-marah? Mau lihat aku ngamuk? Yakin?"
"Eh, tidak, Dar. Bukan begitu. Aku hanya merasa salut saja sama sikapmu."
"Ya sudah, berhenti bahas itu. Mendingan bantu aku cabutin rumput, Mas."
Kalau untuk menebus kesalahanku hanya dengan membantunya mencabuti rumput, bukankah itu hal yang amat ringan?
"Ada hal lain yang mau aku tanyakan, Dar. Boleh?" Aku duduk lebih dekat di samping Darinah.
Darinah mengangguk. Sesekali dia mengelap keringat di jidat menggunakan lengan bajunya.
"Kamu tidak kecewa padaku 'kan? Ya, aku ini belum bisa memberikan apa-apa kepadamu. Mau bangun rumah saja tanahnya masih numpang sama keluarga kamu. Aku malu, Dar."
"Yang penting kamu sudah berusaha, Mas. Aku lihat kamu juga tidak pernah malas-malasan. Selain membantu Bapak di sawah, kamu juga diam-diam suka bersihin kebun 'kan?" Darinah melirik ke arahku sebentar.
Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Lalu meringis salah tingkah di depan Darinah. "Iya, sih. Tapi hanya sebatas itu."
"Kamu ngapain garuk-garuk kepala sih, Mas? Tanganmu kotor kena tanah, tuh." Darinah mengingatkanku. Aku sampai lupa sedang membantunya mencabuti rumput.
Aku memelotot. Diiringi cengengesan tak jelas. "Oh, iya."
"Jangan lupa dikeramasin, Mas! Ingat, kamu tidurnya sudah tidak sendiri." Darinah tersenyum. Senyumnya lumayan manis. Namun, sampai saat ini belum ada sesuatu yang membuat hatiku luluh olehnya.
"Iya, Dar."