Apabila bilik bambu yang ditopang dengan tiang-tiang kayu bekas itu bisa disebut rumah, maka akan lebih layak kalau aku menyebutnya itu sebuah gubuk derita. Itulah tempat yang akan kutinggali bersama istriku.
Semua material yang digunakan untuk membangun rumah merupakan bekas rumah orang lain yang aku beli. Kebetulan ada tetangga desa yang mau pindah rumah ke kota. Jadi, apa saja yang ada di rumah lama pemiliknya, selama bisa dijadikan uang dia jual.
Beberapa tiang kayu yang mulai keropos, pintu yang sudah berlubang dimakan rayap, dan genting-genting yang dipasang di bagian paling tinggi pun sudah kusam dan menghitam. Sampai lincak dan dipan pun adalah barang bekas. Hanya bilik dari bambu buatan Bapak yang tampak masih baru, aku jadikan dinding untuk menyekat setiap ruangan. Rumah mirip gubuk itu akhirnya berdiri juga setelah beberapa bulan lalu telah direncanakan.
Terkadang, sebagai seorang lelaki harga diriku runtuh. Aku merasa belum bisa memberikan tempat tinggal layak untuk istriku sendiri.
***
"Mas, kenapa tidak masuk?" tanya Darinah. Aku masih berdiri di ambang pintu. Membawa cangkul dan aroma lumpur dari sawah. Setiap masuk ke dalam rumah, senantiasa aku merasa bersalah.
"Dar, maafkan aku. Sampai detik ini belum bisa memberimu rumah yang layak huni. Aku malu, Dar." Sebulan terakhir ini aku sering mengeluhkan hal yang sama pada istriku.
"Ngomong apa kamu ini, Mas? Sudah kubilang berulang kali. Susah senang kita harus bersama. Daripada kita hidup dengan orang tua lebih baik seperti ini," ujarnya penuh pengertian. "Kamu bersihkan badanmu dulu, Mas. Biar baju kotornya kurendam dan nyucinya lebih gampang. Kalau tidak direndam, lumpur-lumpur di bajumu itu akan kering. Nanti aku repot menyikatnya."
Aku harus mengakui Darinah melayani keperluanku dengan baik akhir-akhir ini. Memasak makanan lezat, mencuci baju kotorku dan membersihkan rumah. Hanya satu yang belum dia berikan, mahkota berharga miliknya.
Saat aku pergi ke belakang rumah, ember-ember sudah pada penuh terisi air. Walau sudah pisah rumah, kami masih bergantung pada orang tua untuk urusan air. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, aku dan Darinah sepakat menimba air di rumah Bapak dan Ibu saat rumah mereka sepi.
"Tanganmu pasti penuh kapal karena kerap menimba air, Dar." Aku tertawa meledek.
"Daripada di rumah aku tidak ada kerjaan. Sini bajumu biar kurendam," ulang Darinah yang tampak tidak sabar meminta aku melepas baju.
"Lantas kalau semua bajuku kulepas, kamu mau lihat aku telanjang tanpa sehelai kain pun, begitu? Apa kamu memang mau melihatnya, Dar?" Aku sengaja menggoda Darinah. Hampir kulucuti semua pakaian yang kukenakan.
Wanita itu ketakutan dan berlari masuk ke kamar. Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Gubuk kecil ini bahkan terlihat lega. Hanya ada satu lincak di ruang tamu. Satu dipan di kamar. Beruntung Darinah dapat banyak kado berupa perabotan dari para tamu undangan sewaktu kami menikah. Gelas, piring, sendok sampai panci dan wajan komplit. Hadiah dari orang semua.
"Dar, aku mau ke sumur. Mumpung Ibu masih di kebun. Jam segini paling hanya ada Bapak di rumah," ujarku. Aku dan Darinah paling malas mengambil air kalau ada Ibu. Wanita paruh baya itu bisa mengomel terus menerus.
Darinah sedang mengipasi arang di dalam setrika. Katanya dia memang mau menyetrika pakaian. "Ya sudah. Lekas kembali, ya, Mas. Biar kusiapkan makan dan minumanmu."