Haryati menyuruhku tetap tinggal di kamarnya. Tentu saja perasaan was-was menyelimuti hatiku. Jelas-jelas suara itu adalah milik Darinah. Dia memanggil-manggilku dari luar.
"Kalau aku sudah berhasil membawa Mbak Darinah ke ruang tamu, Mas Turi cepetan pergi dari sini, ya," titah Haryati yang sudah menyusun rencana serapi mungkin.
Aku hanya mengiyakan. Namun, perasaanku tidak tenang setelah Haryati keluar kamar dan menemui sang kakak.
"Mbak Dar, bagaimana kabarmu? Aku rindu loh," ujar Haryati dengan manjanya.
"Eh, Har, kok kamu sudah pulang? Nenek bagaimana kondisinya, sudah bisa ditinggal?" Darinah bertanya balik.
Kulihat dari lubang kecil pada bilik bambu, mereka sedang berpelukan. Melepaskan rindu satu sama lain.
"Nenek sudah sehat. Tapi belum bisa nengokin rumah baru Mbak Dar. Katanya nunggu pulih dulu."
"Oh, syukurlah. Lagian kalau Nenek ke sini mau naik apa? Biarlah Nenek banyak beristirahat dulu. Kasihan Nenek sudah sangat tua pasti kesulitan berjalan jauh." Darinah terlihat termangu. Dia pasti mengkhawatirkan kondisi sang nenek yang telah merawatnya dari kecil.
"Eh, Mbak tadi nyari apa? Apa nyari barang? Ayok kita cari sama-sama! Siapa tahu ada di depan." Haryati berusaha menggiring Darinah ke ruang tamu.
"Aku nyari suamiku. Katanya mau nimba air, tapi tidak balik-balik. Makanan sama minumannya keburu dingin. Aku sudah menyiapkannya dari tadi."
"Oh, tadi aku lihat Mas Turi ada di belakang rumah."
Setelah situasi aman, barulah aku berani keluar dari kamar. Maafkan aku, Dar. Aku kembali bermain di belakangmu.
"Mas ini gimana, sih? Nimba air kok malah mampir-mampir dulu," kata Darinah yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu dekat dengan dapur. Sementara itu, aku sedang menimba air di sumur.
"Aku mencari Bapak, Dar. Sudah sore begini belum pulang dari sawah," kilahku. Rasanya ingin kupotong saja lidah ini yang suka berbohong.
"Emm, mantu idaman kamu, Mas. Perhatian sekali sama mertua," pujinya. Eh, Haryati sudah pulang loh, Mas. Kalian sudah bertemu?"
"Sudah, kok. Tadi kita sempat saling menyapa," jawabku berkelit. Aku berharap Darinah menghentikan ocehannya. Aku semakin takut untuk bersilat lidah kembali.
"Iya, Mbak, tadi kita sempat ngobrol sebentar," sahut Haryati yang muncul di belakang Darinah. Kalian mau kubuatkan kopi?" tawar gadis itu.
"Oh, tidak usah repot-repot, Har. Aku minum di rumah saja. Sayang kan, kalau kopi buatan Darinah mubazir karena tidak diminum."
"Adanya teh, Mas. Jadi aku buatkan teh manis. Bukan kopi," sela Darinah agak murung.
"Eh, iya. Itu maksudku." Aku jadi serba salah begini. Biasanya aku selalu dibuatkan kopi sama Haryati. Jadi ingatnya kopi terus.
"Ya sudah, Har. Aku mau menemani Mas Turiyan beristirahat. Kamu mainlah ke gubuk kita," ajak Darinah pada adiknya.
"Iya, Mbak. Nanti aku pasti ke situ," sahut Haryati dengan lembut.
"Sini, biar aku bantu bawa satu ember airnya, Mas," pinta Darinah.
"Memang kamu kuat mengangkatnya?" ledekku. Aku sudah bilang ke Darinah kalau akan kubawa sendiri ember-ember berisi air itu. Tapi Darinah tetap memaksa membantu.
"Jangan penuh-penuh juga." Darinah mengambil gayung. Menciduk air beberapa kali dan memindahkan ke ember kecil yang ada di dekat sumur. Alhasil, ember yang tadi penuh dengan air, sekarang tersisa nyaris setengahnya.