Garapan sawah membuatku sibuk. Walaupun bukan sawah sendiri, setidaknya ada penghasilan yang bisa membuat asap dapur tetap mengepul. Aku selalu berangkat sebelum matahari muncul menerangi bumi.
Darinah rajin sekali mengirim rantang makanan untuk makan pagi dan siangku. Soalnya kalau aku berangkat, makanannya belum pada matang. Dia tidak takut dengan paparan sinar matahari yang membuat kulitnya semakin gelap. Aku saja sudah setengah matang karena hampir setiap hari dipanggang di bawah teriknya matahari.
"Mas, sekali-sekali ajari aku di sawah. Biar bisa bantu kerjaanmu. Daripada aku di rumah menganggur. Kecuali kalau kita sudah punya anak. Aku akan lebih banyak di rumah," pinta Darinah.
"Di sawah itu capek, Dar. Aku kasihan padamu. Nanti badanmu pegal-pegal bagaimana?"
"Aku juga kasihan sama kamu, Mas. Lagipula kalau badanku sakit, kita bisa bergantian memijat. Aku lihat banyak ibu-ibu juga yang pergi ke sawah sama suaminya." Bibir Darinah merengut. Kalau dia sudah minta sesuatu sulit sekali untukku menolak. Itu karena aku cukup merasa trauma pernah diabaikan olehnya. Walau perasaan cintaku belum bisa tumbuh untuknya, setidaknya rasa kasihan kepadanya begitu besar. Ya, aku kasihan sama istriku atas perlakuan ibunya.
Siang itu, dengan butiran keringat sebesar biji jagung yang terus membasahi wajah, Darinah begitu bersemangat. Tangannya sudah mulai lincah mencabuti rumput-rumput liar, mengumpulkan keong dan sesekali dia tidak sengaja menangkap belut. Padahal aku baru mengajarinya sebentar.
"Untung saja bukan Ular Rangon yang kamu tangkap, Dar. Lumayan buat dibikin pecak, tuh belutnya." Aku meminta belut yang sudah terkulai lemah di tangan Darinah.
"Eh, jangan, Mas! Biar aku lepas saja." Wanita itu meletakkan kembali belut berwarna kecokelatan tadi ke atas lumpur. "Aku tidak tega sama belutnya kalau dimakan sama kita."
Aku menghela napas. "Terserah kamu sajalah, Dar. Yang penting kamu senang."
Darinah tersenyum. Noda lumpur mengotori pipinya. Dia melakukan pekerjaannya dengan riang seperti seorang anak yang sedang diajak bermain.
"Dar, temani aku makan, yuk! Bersihkan badan kita dulu." Aku naik ke pematang sawah. Mengulurkan tangan untuk Darinah. Alih-alih mau menerima uluran tangan dariku, wanita itu malah ngambek tidak jelas.
"Aku masih asyik di sawah, Mas," rengeknya.
"Nanti lagi, Dar. Sekarang kamu belum merasakan pinggangmu seperti mau copot. Jadi keasyikan berkubang di lumpur." Aku cukup bekerja keras untuk membuat istriku mau ikut naik ke pematang. Mukanya seperti tidak ikhlas saat aku berhasil menarik tangannya.
"Kita bersihkan badan di mana?" tanyanya dengan sejuta kepolosan.
"Di irigasi sana." Aku menunjuk saluran irigasi di tengah-tengah sawah, dekat dengan gubuk yang sering aku singgahi bersama Bapak dan para petani lain untuk beristirahat. Air irigasi itu mengalir cukup deras.
Aku menenteng rantang dan botol air minum. Darinah di belakangku terlihat hati-hati sekali berjalan di pematang yang sempit.
"Kalau jatuh juga tidak apa-apa, Dar. Kan bajumu sudah kotor begitu," kataku sambil tersenyum.
"Aku pengin melewati jalan sempit ini dengan hati-hati tanpa terjatuh. Seperti kehidupan kita, Mas. Sesulit apa pun itu, kita harus bisa melewatinya. Jangan sampai terjatuh. Apalagi kalau jatuhnya di tempat yang sama." Darinah menjejakkan kaki dengan tertatih-tatih.
Omongan istriku itu menohok sekali. Membuatku tersindir saja. Namun, aku yakin dia tidak tahu kalau aku diam-diam masih suka menemui Haryati.
"Maaf, karena aku kembali menceburkan diri ke dalam kesalahan yang sama, Dar," kataku dalam hati.
Darinah senang sekali bermain air di saluran irigasi. Katanya mumpung airnya jernih. Dia sampai berenang segala. Akan tetapi, agaknya irigasi yang dianggapnya sebagai sungai kecil itu membuatnya cukup kecewa. Dia tidak bisa leluasa berenang karena sempit dan airnya dangkal.
Aku terpingkal-pingkal melihat kelakuan istriku yang seperti anak kecil saja. Ada-ada saja dia itu. Masa berenang di saluran air yang digunakan untuk mengairi sawah.